KEBISINGAN
Bising merupakan
semua suara atau bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat
proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat
menimbulkan gangguan pendengaran. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. Kep-48/11/1996, bising adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha
atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Gangguan pendengaran adalah perubahan
pada tingkat pendengaran yang berakibat
kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya
dalam hal pembicaraan (Anonim, 1996).
2) Jenis Kebisingan
Berdasarkan sifat dan
spektrum frekuensi bunyi, menurut Chandra (2006) bising dibagi atas:
a) Steady state dan narrow
band noise
Bising yang kontinyu
dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini relatif tetap dalam batas
kurang lebih 5 dBA untuk periode 0,5 detik berturut-turut, misalnya mesin,
kipas angin, dan dapur pijar.
b) Non-steady dan narrow
band noise
Bising yang kontinyu
dengan spektrum frekuensi yang sempit. Bising ini juga relatif tetap, akan
tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja (pada frekuensi 500, 1000,
dan 4000 Hz), misalnya gergaji sirkuler dan katup gas.
c) Bising
terputus-putus (Intermittent)
Bising di sini tidak
terjadi secara terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang, misalnya
suara lalu lintas dan kebisingan di lapangan terbang.
d) Bising impulsif
Bising jenis ini
memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dBA dan biasanya mengejutkan
pendengaran, misalnya tembakan, suara ledakan mercon, dan meriam.
e) Bising
Impulsif berulang
Bising jenis ini sama
dengan bising impulsif, hanya saja disini terjadi secara berulang-ulang,
misalnya mesin tempa.
Sedangkan berdasarkan
pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat dibagi atas:
1. Bising yang mengganggu (Irritating noise)
Bising dengan
intensitas tidak terlalu keras, misalnya mendengkur.
2. Bising yang menutupi (Masking noise)
Bising ini merupakan bunyi yang menutupi pendengaran
yang jelas. Secara tidak langsung, bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan
keselamatan tenaga kerja.
3. Bising yang merusak (Damaging/Injurious noise) adalah bunyi yang intensitasnya melampaui nilai ambang batas. Bising jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.
3) Sumber Kebisingan
Menurut Mediastika (2005), sumber bising terbagi atas
dua, yakni sumber bergerak dan sumber diam. Contoh dari sumber yang diam adalah
industri atau pabrik dan mesin-mesin konstruksi. Sedangkan
contoh dari sumber yang bergerak, misalnya kendaraan bermotor, kereta api, dan
pesawat terbang. Industri menjadi sumber bising karena menggunakan peralatan
mesin yang memiliki frekuensi rendah sehingga menghasilkan bising dan getaran.
Kereta api dikategorikan bising karena gesekan roda kereta api dengan rel
kereta api yang terbuat dari bahan keras sehingga menimbulkan decitan.
Kebisingan juga muncul dari klakson dan mesin kereta api. Sedangkan kebisingan pada pesawat terbang
dihasilkan oleh mesin
yang berbobot berat dengan menghasilkan tenaga yang kuat sehingga
menghasilkan getaran dan bunyi bising saat tinggal landas, terbang rendah, dan mendarat.
4) Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kebisingan
Menurut Mediastika
(2005), faktor yang memengaruhi kebisingan dibagi menjadi dua, yakni faktor
akustikal meliputi tingkat kekerasan bunyi, frekuensi bunyi, durasi munculnya
bunyi, fluktuasi kekerasan bunyi, fluktuasi frekuensi bunyi, dan waktu
munculnya bunyi. Sedangkan faktor non-akustikal meliputi pengalaman terhadap
kebisingan, kegiatan, perkiraan terhadap kemungkinan munculnya kebisingan,
manfaat objek yang menghasilkan kebisingan, kepribadian, lingkungan dan
keadaan. Semua faktor tersebut harus diperhitungkan setiap kali mengukur
tingkat kebisingan pada suatu tempat sehingga data yang dihasilkan menjadi
sahih dan solusi yang diterapkan lebih tepat.
Mediastika (2005) juga mengemukakan
bahwa kebisingan sangat bergantung pada kelembapan, kecepatan angin, dan suhu
udara. Hal ini disebabkan karena bunyi merambat sangat bergantung pada partikel
zat medium yang dilaluinya. Sementara itu, partikel ditentukan oleh susunan
partikel, temperatur, dan kandungan partikel lain dalam zat, seperti kandungan
titik air dalam zat gas (tingkat
kelembapan relatif). Pada kasus ini, bunyi akan cenderung lebih cepat merambat
pada kondisi medium yang stabil dan gelombang bunyi juga merambat lebih cepat
pada suhu yang tinggi dibandingkan dengan suhu yang rendah. Pada udara hangat- panas, perambatan gelombang bunyi
akan cenderung mengarah ke atas dan pada udara sejuk-dingin, perambatannya
cenderung mengarah ke bawah.
Tabel 1. Kecepatan Rambat
Bunyi dalam Medium Tertentu
Medium
|
Kecepatan
Rambat Bunyi
|
Udara pada temperatur -20oC
|
319,3 m/det
|
Udara pada temperatur 0oC
|
331,8 m/det
|
Udara pada temperatur 10oC
|
337,4 m/det
|
Udara pada temperatur 20oC
|
343,8 m/det
|
Udara pada temperatur 30oC
|
349,6 m/det
|
Gas Hidrogen
|
1284 m/det
|
Gas O2
|
316 m/det
|
Gas CO2
|
259 m/det
|
Air Murni
|
1437 m/det
|
Air Laut
|
1541 m/det
|
Baja
|
6100 m/det
|
(Sumber:
Mediastika, 2005)
5) Tingkat Kebisingan
Tambunan (2005) menjelaskan tingkat kebisingan merupakan terjemahan bebas dari noise level,
merupakan fungsi dari amplitudo gelombang
suara dan dinyatakan dalam satuan desibel (dB). Dari sisi formula
matematis, ada tiga cara berbeda yang digunakan untuk mendefinisikan tingkat
kebisingan, yakni:
a. Tingkat
Intensitas Bunyi/Sound Intensity Level (SIL)
SIL merupakan
perhitungan nilai logaritma dari perbandingan antar intensitas bunyi di suatu tempat yang diukur terhadap
intensitas bunyi acuan sebesar 10-12 Watt.
Rumus perhitungan tingkat kebisingan dengan menggunakan intensitas bunyi lebih
sering digunakan untuk menghitung tingkat kebisingan di dua tempat yang berbeda
jaraknya dari sumber bunyi. Adapun
rumus SIL, yakni:
SIL = 10 Log I/I0
Keterangan:
SIL: Sound Intensity Level (dB)
I : Intensitas bunyi yang dicari IL-nya (W/m2)
I0 : Intensitas bunyi acuan
yang besarnya 10-12 Watt
b. Tingkat
Daya Bunyi/Sound Power Level (PWL)
PWL merupakan perhitungan dari perbandingan antara daya suara (sound power) di sebuah tempat sampai ke
penerima. Adapun persamaan PWL, yakni:
PWL = 10 Log W/W0
Keterangan:
PWL:
Sound Power Level (dB)
W : daya bunyi (Watt)
W0 : daya bunyi acuan yang
besarnya 10-12 Watt
c. Tingkat
Tekanan Bunyi/Sound Pressure Level (SPL)
SPL merupakan nilai
yang menunjukkan perubahan tekanan di dalam udara karena adanya perambatan
gelombang bunyi. Tingkat kebisingan dengan menggunakan tekanan bunyi sebagai
acuan perhitungan disebut SPL. Adapun persamaan SPL, yakni:
SPL = 20 Log P/P0
Keterangan:
SPL: Sound Pressure Level (dB)
P : tekanan bunyi (Pascal
atau Pa)
P0 : tekanan bunyi acuan yang
besarnya 2.10-5 Pa
Mediastika (2005)
mengemukakan pembobotan bunyi dibedakan menjadi empat yang didasarkan oleh
respon telinga terhadap bunyi pada frekuensi tertentu dalam bobot tertentu sesuai kesan dan sensasi yang diterima oleh telinga, atau biasa
dikenal dengan metode sound weighting, yakni:
a. Bobot
A atau Desibel A adalah skala yang diciptakan pada kondisi telinga kurang
baik merespon bunyi-bunyi rendah sehingga telinga beradaptasi untuk mampu
mendengar bunyi berfrekuensi rendah. Telinga tetap memiliki respon yang wajar
dengan mengabaikan frekuensi
di bawah 100 Hz atau identik dengan 40 phon pada
frekuensi 1000 Hz. Skala ini umumnya memiliki hasil pengukuran sensasi
tingkat kekerasan yang dirasakan oleh orang pada umumnya sehingga
skala ini sering digunakan sebagai pedoman pengukuran.
b. Bobot B atau Desibel
B adalah skala yang diciptakan pada kondisi
telinga yang merespon
bunyi-bunyi sedang atau hampir identik dengan 70 phon pada frekuensi 1000 Hz.
c. Bobot
C atau Desibel C adalah skala yang diciptakan ketika telinga seolah mendapat sensasi
yang sama terhadap
bunyi yang pada hampir semua frekuensi.
d. Bobot
D atau Desibel D adalah skala yang diciptakan untuk merespon bunyi- bunyi yang
muncul dari kapal terbang pada frekuensi 2000-5000 Hz.
6) Cara penghitungan dan
pengukuran kebisingan
Metode pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996, yakni:
a. Cara Sederhana
Cara ini dengan sebuah sound level meter biasa diukur tingkat tekanan bunyi dB (A) selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 (lima) detik.
b. Cara Langsung
Satuannya adalah dB
LTMS adalah Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik
LS adalah selama siang hari
LM adalah Leq selama malam hari
LSM adalah Leq selama siang dan malam hari.
Adapun metode perhitungan (dari contoh) LS dihitung sebagai berikut:
LS = 10 log 1/16 (T1.10 01L5 +... +T4.1001L5) dB (A)
LM dihitung sebagai berikut :
LM = 10 log 1/8 (T5.10 01L5 +... +T7.1001L5) dB (A)
Untuk mengetahui apakah tingkat kebisingan sudah melampaui tingkat kebisingan maka perlu dicari nilai LSM dari pengukuran lapangan. LSM dihitung dari rumus:
LSM = 10 log 1/24 ( 16.10 01L5 +... +8.1001L5) dB (A)
Adapun metode evaluasi nilai LSM yang dihitung dibandingkan dengan nilai baku tingkat kebisingan yang ditetapkan dengan toleransi +3 dB(A).
Menurut Mediastika (2005), adapun pengukuran tingkat kekuatan bunyi bila diketahui jarak dari sumber bunyi adalah sebagai berikut:
I = P/4πr2
Keterangan :
I: intensitas bunyi pada jarak r dari sumber bunyi (Watt/m2)
Keterangan :
A: jarak dari sumber bising ke puncak penghalang
B: jarak dari penerima ke puncak penghalang
C: jarak dari sumber bising ke penerima N: angka fresnel
λ: panjang gelombang suara
Menurut Berger, dkk. (2003), adapun penghitungan dosis dengan menghitung total fraksinya, yakni:
D = (Total Fraksi) x 100%
Keterangan:
D: dosis kebisingan dalam persen
Total Fraksi atau Fraksi Kumulatif (F) = [(C1/T1) + (C2/T2) + … + (Cn/Tn)]
Keterangan :
C1-n: total waktu paparan bising pekerja
T1-n: durasi waktu acuan
Sehingga didapatkan TWA (Time-Weighted Average), yakni dosis yang merepresentasikan pajanan kebisingan dalam 8 jam bekerja.
TWA = 16,61 Log [ D(%)/100(%)] + 90 dBA
TWA: dosis kebisingan pekerja dalam 8 jam bekerja
D: dosis kebisingan dalam persen
7) Gangguan kesehatan akibat kebisingan
8) Upaya pengendalian kebisingan
9) Alat pelindung diri pekerja dari kebisingan
10) Software pemetaan kebisingan
Metode pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996, yakni:
a. Cara Sederhana
Cara ini dengan sebuah sound level meter biasa diukur tingkat tekanan bunyi dB (A) selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 (lima) detik.
b. Cara Langsung
Dengan sebuah integrating sound level meter yang
mempunyai fasilitas pengukuran LTMS, yaitu Leq dengan waktu
ukur setiap 5 detik, dilakukan pengukuran
selama 10 (sepuluh) menit. Waktu pengukuran dilakukan selama aktivitas 24
jam (LSM) dengan cara pada siang hari tingkat aktivitas
yang paling tinggi
selama 10 jam (LS) pada selang waktu 06.00 - 22. 00 dan aktivitas dalam malam hari selama 8 jam (LM) pada selang 22.00 - 06.00. Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang
waktu tertentu dengan menetapkan paling sedikit 4 waktu pengukuran
pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 waktu pengukuran, sebagai
contoh:
L1 diambil pada jam 07.00 mewakili jam 06.00 - 09.00
L2 diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 -
11.00
L3 diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 - 17.00
L4 diambil pada jam
18.00 mewakili jam 17.00.- 22.00
L5 diambil pada jam 22.00 mewakili jam 22.00 -
24.00
L6 diambil pada jam 02.00 mewakili jam 24.00 - 03.00
L7 diambil pada jam
05.00 mewakili jam 03.00 - 06.00
Keterangan:
Leq: Equivalent
Continuous Noise Level atau Tingkat Kebisingan Sinambung Setara ialah nilai tertentu
kebisingan dari kebisingan yang berubah-ubah (fluktuatif selama waktu tertentu yang
setara dengan tingkat kebisingan dari kebisingan yang ajeg (steady) pada selang waktu yang sama.Satuannya adalah dB
LTMS adalah Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik
LS adalah selama siang hari
LM adalah Leq selama malam hari
LSM adalah Leq selama siang dan malam hari.
Adapun metode perhitungan (dari contoh) LS dihitung sebagai berikut:
LS = 10 log 1/16 (T1.10 01L5 +... +T4.1001L5) dB (A)
LM dihitung sebagai berikut :
LM = 10 log 1/8 (T5.10 01L5 +... +T7.1001L5) dB (A)
Untuk mengetahui apakah tingkat kebisingan sudah melampaui tingkat kebisingan maka perlu dicari nilai LSM dari pengukuran lapangan. LSM dihitung dari rumus:
LSM = 10 log 1/24 ( 16.10 01L5 +... +8.1001L5) dB (A)
Adapun metode evaluasi nilai LSM yang dihitung dibandingkan dengan nilai baku tingkat kebisingan yang ditetapkan dengan toleransi +3 dB(A).
Menurut Mediastika (2005), adapun pengukuran tingkat kekuatan bunyi bila diketahui jarak dari sumber bunyi adalah sebagai berikut:
I = P/4πr2
Keterangan :
I: intensitas bunyi pada jarak r dari sumber bunyi (Watt/m2)
P: daya atau kekuatan sumber bunyi
r: jarak dari
sumber bunyi
Menurut Rudianto (2003) untuk menghitung kebisingan
dengan pengaruh penghalang dapat ditentukan dengan persamaan 5, yakni:
N = A + B + C
/ λKeterangan :
A: jarak dari sumber bising ke puncak penghalang
B: jarak dari penerima ke puncak penghalang
C: jarak dari sumber bising ke penerima N: angka fresnel
λ: panjang gelombang suara
Menurut Berger, dkk. (2003), adapun penghitungan dosis dengan menghitung total fraksinya, yakni:
D = (Total Fraksi) x 100%
Keterangan:
D: dosis kebisingan dalam persen
Total Fraksi atau Fraksi Kumulatif (F) = [(C1/T1) + (C2/T2) + … + (Cn/Tn)]
Keterangan :
C1-n: total waktu paparan bising pekerja
T1-n: durasi waktu acuan
Sehingga didapatkan TWA (Time-Weighted Average), yakni dosis yang merepresentasikan pajanan kebisingan dalam 8 jam bekerja.
TWA = 16,61 Log [ D(%)/100(%)] + 90 dBA
TWA: dosis kebisingan pekerja dalam 8 jam bekerja
D: dosis kebisingan dalam persen
7) Gangguan kesehatan akibat kebisingan
Menurut Harrington
dan Gill (2003), Kebisingan berefek pada kesehatan bukan pendengaran. Dalam hal
ini, energi kebisingan yang tinggi mampu menimbulkan efek viseral, seperti
perubahan frekuensi jantung, perubahan tekanan darah, dan tingkat pengeluaran
keringat. Sebagai tambahan ada efek psikososial dan psikomotor ringan jika
dicoba bekerja pada lingkungan yang bising. Kebisingan berefek pada kesehatan
bukan pendengaran ditunjukkan pada kasus saat ketika seseorang mengunjungi
musik yang disukai, dalam kasus ini musik rock,
yang memiliki tingkat kebisingan yang amat tinggi dibandingkan saat seseorang
mengunjungi industri yang memiliki tingkat kebisingan yang tinggi, maka
seseorang tersebut akan memiliki respon
yang berbeda. Namun, pernyataan tersebut bukan berarti kebisingan tidak
berefek pada pendengaran tetapi gangguan pendengaran merupakan salah satu dari
gangguan kesehatan yang ditimbulkan akibat kebisingan.
Widmer (2006)
menuturkan kebisingan mengakibatkan gangguan secara fisis, yaitu:
a. Gangguan tidur
b. Gangguan sistem saraf berupa
peningkatan tekanan darah dan frekuensi jantung
c. Menurunkan daya
pendengaran.
Sedangkan secara psikis, yakni:
a. Gangguan komunikasi
b. Menurunkan daya konsentrasi
c. Gangguan istirahat
d. Perasaan tidak nyaman
Chandra (2006)
menguatkan bahwa efek kebisingan terhadap kesehatan dilaporkan meningkatkan
sensitivitas tubuh berupa peningkatan kardiovaskuler seperti kenaikan tekanan
darah dan denyut jantung. Apabila terpapar dalam waktu lama akan menyebabkan
reaksi psikologis berupa penurunan konsentrasi dan kelelahan.
Menurut Ali (2006),
gangguan pendengaran adalah gangguan sensorik yang terjadi pada telinga yang
ditandai dengan penurunan kualitas dan kuantitas suara yang diterima pemilik
telinga. Gangguan pendengaran merupakan gangguan yang paling sering
ditemukan dalam suatu
populasi. dan harus dibantu dengan
alat bantu dengar.
8) Upaya pengendalian kebisingan
Ada beberapa langkah dalam upaya
pengendalian kebisingan menurut Mashuri
(2007), yaitu reduksi kebisingan secara alamiah meliputi mengatur jarak dengan
sumber bising, mengatur serapan udara pada bangunan, memperhitungkan kecepatan dan arah angin, mengatur permukaan
tanah pada bangunan, dan menggunakan hambatan alamiah,
seperti pohon dengan kerimbunan tertentu. Selain alamiah, kebisingan pada bangunan dapat dikendalikan
dengan menata layout bangunan dan
membuat penghalang buatan berupa bangunan yang dibangun dengan spesifikasi
tertentu, serta mengatur kombinasi material bangunan yang digunakan. Secara
umum, pengendalian kebisingan dapat ditempuh dengan mengatur tiga elemen
penting, yakni sumber bising, media rambat, dan penerima.
Sedangkan
menurut Saputra (2007), pengendalian kebisingan adalah:
a. Pengendalian
pada sumber bising, yaitu melakukan upaya agar tingkat bising yang dihasilkan
oleh sumber dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Beberapa usaha yang
sering dilakukan antara lain menciptakan mesin-mesin dengan tingkat bising yang
rendah, menempatkan sumber bising jauh dari penerima (manusia atau daerah
hunian), dan menutup sumber bising (acoustic ensclosure).
b. Pengendalian
pada medium, yaitu melakukan upaya penghalangan bising pada jejak
atau jalur propogasinya. Dalam bagian ini dikenal 2 (dua) jalur propogasi
bising yaitu propogasi melalui udara (airborne
noise) dan melalui struktur bangunan (structure
borne noise). Gejala
yang terjadi pada structure
borne noise lebih kompleks
dibandingkan dengan airborne noise karena
adanya gejala propogasi getaran selain suara. Beberapa usaha pengendalian
bising pada jejak propogasi ini antara lain merancang penghalang akustik (accoustic barrier), dinding insulasi (insulation walls) atau memutus jalur
getaran melalui struktur dengan memasang vibration absorber.
c. Pengendalian
pada Penerima, yaitu melakukan upaya perlindungan pada pendengar (manusia) yang
terkena paparan bising (noise exposure)
dengan intensitas tinggi dan waktu yang cukup lama. Biasanya pengendalian
bising ini diperlukan pada lingkungan industri atau pabrik bagi para pekerja
yang berhadapan dengan mesin–mesin. Pengendalian bising disini dimaksudkan
untuk melindungi para pekerja dari kemungkinan kerusakan pendengarannya sebagai
akibat dari dosis bising (noise dose)
yang diterimanya setiap hari kerja. Sesuai dengan peraturan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja di Indonesia dipersyaratkan
bahwa untuk tempat kerja dengan
tingkat bising ≥ 85 dBA, maka
pekerja diharuskan untuk memakai pelindung telinga (ear protector), misalnya ear plug,
ear muff, atau kombinasi
dari keduanya. Selain
itu, dalam pengendalian kebisingan juga perlu mengatur
waktu kerja untuk mengurangi dosis
bising yang diterimanya
setiap hari.
9) Alat pelindung diri pekerja dari kebisingan
Menurut Harrington
dan Gill (2003), kebisingan dihasilkan dalam berbagai tingkatan frekuensi,
pilihan alat pelindung telinga harus didasarkan pada hasil pengukuran spektrum
frekuensi kebisingan yang akan diturunkan kekuatannya. Alat pelindung telinga
dapat berupa penutup telinga (ear muff)
yang menutupi seluruh telinga dan sumbat telinga (ear plug) yang dimasukkan ke dalam lubang telinga. Penutup telinga
dapat memiliki berbagai tingkat penurunan kebisingan sementara sumbat telinga
dapat dibuat dari berbagai jenis bahan sekali pakai maupun pakai ulang.
a. Penutup
Telinga (Ear muff)
Alat ini terdiri atas
penutup berbentuk mangkuk yang menutupi kedua telinga dan dipasang dengan dua
pengikat yang berfungsi sebagai pegas. Agar benar-benar tertutup, pinggir
mangkuk diisi dengan cairan atau busa. Derajat penurunan kebisingan dipengaruhi
oleh bahan mangkuk dan pinggirnya serta pada kualitas pinggiran penutup.
b. Sumbat
Telinga (Ear Plug)
Sumbat telinga dibagi
menjadi dua, yakni sekali pakai dan dapat dipakai ulang. Sumbat telinga sekali
pakai biasanya berbahan kapas atau kapas berlapis plastik atau kapas wol
bercampur malam atau busa poliuretan. Sedangkan sumbat telinga yang dapat
dipakai ulang memiliki bahan plastik cetak permanen atau karet berisi pasta
atau plastik berisi pasta.
Dalam mengukur
kebisingan perlu software pendukung seperti Surfer
dan ArcGis. Surfer adalah salah satu perangkat lunak yang digunakan untuk pembuatan peta
kontur dan pemodelan tiga dimensi yang berdasarkan pada grid. Perangkat lunak ini melakukan plotting data tabular XYZ tak
beraturan menjadi lembar titik- titik segi empat (grid) yang beraturan. Grid adalah
serangkaian garis vertikal dan horizontal yang dalam Surfer berbentuk segi empat dan digunakan sebagai dasar pembentuk
kontur dan surface tiga dimensi.
Garis vertikal dan horizontal ini
memiliki titik-titik perpotongan. Pada titik perpotongan ini disimpan nilai Z
yang berupa titik ketinggian atau kedalaman. Gridding merupakan proses pembentukan rangkaian nilai Z yang
teratur dari sebuah data XYZ. Hasil dari proses gridding ini adalah file grid yang tersimpan pada file .grd (Putra, 2009).
Saputra (2007) dalam tesisnya
menggunakan tiga zona bentuk kebisingan area pabrik, yakni Warna Hijau berarti kurang
dari 85 dBA dan merupakan daerah aman.Sedangkan Warna Kuning menunjukkan 85-95 dBA
merupakan daerah wajib ear plug. Sedangkan
Warna Merah menunjukkan di atas 95 dBA mengindikasikan daerah wajib menggunakan
ear muff.
Daftar Pustaka:
- Ali, I., 2006. Mengatasi Gangguan Pada Telinga Dengan Tanaman Obat. Agromedia, Jakarta, 4 dan 6-14.
- Anonim, 1996. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan.
- Berger, E.H., Royster, L.H., Royster, J.D., Driscoll, D.P., dan Layne, M., 2003. The Noise Manual. American Industrial Hygiene Association, United States of America. 189-190.
- Chandra, B., 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC, Jakarta. 169, 170-171, dan 205.
- Harrington, J.M. dan Gill, F.S., 2003. Buku Saku Kesehatan Kerja edisi Tiga; terjemah Sudjoko Kuswadji. EGC, Jakarta. 182 dan 261.
- Mashuri, 2007. Penggunaan Akustika Luar Ruangan dalam Menanggulangi Kebisingan pada Bangunan. Jurnal SMARTek 5, 198-206.
- Mediastika, C.E., 2005. Akustika Bangunan: Prinsp-Prinsip dan Penerapannya di Indonesia. Erlangga, Jakarta. 7-8, 13-18, 27, dan 33.
- Rudianto, A., 2003. Pengaruh Jarak Kecepatan Arus dan Kepadatan Lalu Lintas serta Kecepatan Angin pada Tingkat Kebisingan di Ruas Jalan Kaligawe Semarang. Tesis, 13-14.
- Saputra, A.J., 2007. Analisis Kebisingan Peralatan Pabrik dalam Upaya Peningkatan Penataan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja PT Pupuk Kaltim. Tesis, 15-16 dan 36.
- Putra, A.M., 2009. Laporan tentang Surferhttp://andimandalaputra.blogspot.com/2012/03/laporan-tentang- surfer.html, Diakses pada 7 Januari 2015.
- Tambunan, B.S., 2005. Kebisingan di Tempat Kerja. Andi, Yogyakarta. 119-123.
- Widmer, P., 2006. Pangan, Papan, dan Kebun Berguna. Kanisius, Yogyakarta. 43.
Comments
Post a Comment