BAB
I
PENDAHULUAN
Setelah
khilafah Islamiyah runtuh ummat Islam dipecah belah menjadi sekitar 50-an
negara-negara nasionalis yang tidak terikat satu sama lain dengan ikatan aqidah Islam. Sejak umat Islam
kehilangan pelindung (khilafah), umat Islam selalu dihina, wilayahnya diduduki,
adanya pertumpahan darah, kehormatannya wanita islam dilecehkan, dan agamanya
dinistakan. Sudah 88 tahun umat Islam hidup tanpa naungan khilafah dan
mengalami kondisi yang mengenaskan.
Kesatuan
ummat merupakan suatu tuntutan yang amat penting, ini didasarkan pada nasab
dari al-Quran dan as-Sunnah. Dengan kata lain Islam sangat melarang apa yang
disebut perpecahan. Karena itu persoalan mengenai jamaah dan furqah (perpecahan)
banyak sekali dikatakan dalam kitab-kitab Hadist seperti Sahih Bukhari dan
Muslim. Ini memandangkan persoalan perpaduan dan perpecahan memberi kesan yang
sangat besar dalam kehidupan ummat. Berikut salah satu Hadist tersebut.
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا
يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا
فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Sesiapa
yang melihat sesuatu yang tidak disukai daripada pemerintahnya, maka hendaklah
ia bersabar, kerana barang siapa yang mengambil langkah berpisah daripada
jama’ah sekalipun sekadar sejengkal, kemudian dia mati, maka kematiannya itu
seperti keadaan mati jahiliah”.(Riwayat Bukhari)
Dalam
al-Quran juga dengan jelas ditegaskan agar ummat islam tidak tercerai-berai
tepatnya dalam Surat Al Imran ayat 103
واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله
جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا وَاذْ كـُرُو نِعْمَتَ الله عَلَيْكُمْ إٍذْكُنْتُمْ
أَعْـدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنْتُمْ عَلىَ شَفاَ خُـفْرَةٍ مِنَ النَّاِر
فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلـَّكُمْ
تَهْـتَدُونَ
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.”[Q. S. Ali Imran : 103]
Ada
berbagai cara yang bisa dilakukan untuk menyatukan ummat, diantaranya melalui
penentuan awal bulan (Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah), shalat berjama’ah dan
haji. Dari ketiga contoh tersebut yang paling mudah untuk dilaksanakan adalah melalui
shalat berjama’ah. Namun seperti yang kita ketahui, saat ini kesadaran ummat
untuk bersatu lewat shalat berjama’ah masih sangat kurang. Di sekitar kita
saja, masih banyak Masjid-masjid yang sepi jama’ah saat tiba waktunya shalat
berjama’ah.
Dengan
adanya makalah ini diharapkan kesadaran ummat untuk shalat berjama’ah dapat
meningkat, sehingga persatuan dan perpaduan ummat dapat terus terjalin serta
tidak ada perpecahan lagi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Shalat
2.1.1 Pengertian Shalat
Secara
bahasa, shalat itu bermakna doa. Shalat dengan makna doa dicontohkan di dalam
Al-Quran pada ayat berikut ini.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan shalatlah (mendo'alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat
(do'a) kamu itu merupakan ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. At-Taubah : 103)
Dalam ayat ini, makna
shalat yang dimaksud bukan dalam makna syariat, melainkan dalam makna bahasanya
secara asli yaitu berdoa. Adapun makna menurut syariah, shalat didefinisikan
sebagai : “serangkaian ucapan dan gerakan
yang tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sebagai
sebuah ibadah ritual”. Shalat lima waktu merupakan rukun islam yang paling
utama setelah dua kalimah syahadat. Dan wajib atas setiap muslim laki-laki maupun
wanita dalam kondisi apapun, baik dalam keadaan aman, takut, dalam keadaan
sehat dan sakit, dalam keadaan bermukim dan musafir untuk melaksanakan shalat
2.1.2 Perintah dan Hukum Shalat
Perintah
dan hukum shalat sangat jelas telah diterangkan dalam al-Quran, diantaranya:
a.
QS. An-Nisa': 103
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman.”
b.
QS.
Al-Bayyinah : 5
وَمَا
أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“...Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan
kepada-Nya dalam agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat
dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
c.
QS. Al-Hajj : 78
وَجَاهِدُوا
فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ
الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ
وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
“Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya Rasul itu menjadi saksi
atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah
shalat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka
Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
d.
QS. Al-Baqarah : 43
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku.”
Dan masih banyak lagi
perintah shalat di dalam Al-Qur’an yang
mewajibkan umat Islam melaksanakan shalat. Paling tidak tercatat ada 12
perintah dalam Al-Quran lafaz “aqiimush-shalata” (أقيموا الصلاة) yang bermakna "dirikanlah
shalat" dengan fi`il Amr (kata perintah) dengan perintah kepada
orang banyak (khithabul jam`i). Yaitu pada surat :
·
Al-Baqarah : 43,
83, dan 110
·
Surat An-Nisa :
177 dan 103
·
Surat Al-An`am :
72
·
Surat Yunus : 87
·
Surat Al-Hajj :
78
·
Surat An-Nuur :
56
·
Surat Luqman :
31
·
Surat
Al-Mujadalah : 13
·
Surat Al-Muzzammil
: 20
Serta 5 perintah shalat yang khithab-nya hanya kepada satu orang. Yaitu
pada : Surat Huud : 114, Surat Al-Isra’ : 78, Surat Thaha : 14, Surat
Al-Ankabut : 45, Surat Luqman : 17.
Di
dalam sunnah Raulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ada banyak sekali
perintah shalat sebagai dalil yang kuat dan qath`i tentang kewajiban
shalat. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنْ
أَبِي عَبْدِالرَّحْمَنَ عَبْدِالله بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ : سمَِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
يَقُوْلُ : بُنِيَ
الإِسْلاَمُ عَلَى خمَسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وِإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ،
وَحَجِّ البَيْتِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
رواه البخاري و مسلم
“Dari Ibni Umar
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Islam didirikan di atas lima hal. Sahadat bahwa tiada tuhan
kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat,
pelaksanaan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah bila mampu”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Sedangkan dalam ijma’ seluruh
umat Islam sejak zaman nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga hari ini
telah bersepakat atas adanya kewajiban shalat lima waktu dalam agama Islam
Dengan adanya dalil dari al-Quran, as-sunnah dan
ijma’ di atas, maka jelas bahwa shalat merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim. Sehingga mengingkari kewajiban shalat termasuk
keyakianan yang menyimpang dari ajaran Islam, bahkan bisa dikatakan kafir bila
meninggalkan shalat dengan meyakini tidak adanya kewajiban shalat.
2.1.3 Keberagaman
Riwayat Tatacara dan Bacaan Sholat dan Hikmahnya dalam Persatuan Ummat
Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang
menentang kewajiban shalat wajib lima waktu atau meragukannya, ia bukan
termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena
shalat termasuk salah satu rukun Islam. Para
ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan
shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib. Syafi’i, Maliki dan Hambali :
Harus dibunuh, Hanafi :
ia aharus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat. Rukun-rukun dan
fardhu-fardhu shalat : (Mughniyah; 2001)
1.
Niat : semua ulama mazhab sepakat bahwa
mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul
Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni,
karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat,
beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa
sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali. (Mughniyah; 2001)
2.
Takbiratul Ihram : shalat
tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul
ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw : (Mughniyah; 2001)
“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang
mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain
perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan
penghalalnya adalah salam.”
·
Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul
ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan
kata-kata lainnya.
·
Syafi’i :
boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lampada
kata “Akbar”.
·
Hanafi :
boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata
tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha
Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
·
Syafi’i,
Maliki dan Hambali sepakat
bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat
itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001)
·
Hanafi :
Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa
Arab. (Mughniyah; 2001)
·
Semua
ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah
semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri;
dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik
terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.
(Mughniyah; 2001)
3. Berdiri
: semua ulama mazhab sepakat bahwa
berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul
ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat
dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian
kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di
hadapan badannya, menurutkesepakatan
semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia
boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga
isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. Dan bila tidak mampu
miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat
terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus
mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.
·
Hanafi :
bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat
baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah
sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.
·
Maliki :
bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak
diwajibkan meng-qadha’-nya.
·
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah
gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan
kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan
menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu
untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan
shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
4. Bacaan
: ulama mazhab berbeda pendapat.
·
Hanafi :
membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa
saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 :
(Mughniyah; 2001) ”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul
Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam
bab shifatus shalah). Boleh meninggalkan basmalah,
karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya
dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau
didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain
(membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah
dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada
shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan aalah sunnah bukan
wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang
kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan
bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya.
(Mughniyah; 2001)
·
Syafi’i :
membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada
dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu
maupun shalat sunnah.Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang
tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara
keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’,
selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan
membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad
rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah
membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan
dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang
paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak
tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke
kiri. (Mughniyah; 2001)
·
Maliki :
membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada
rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat
fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah
pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari
surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan
pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’,
serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan
kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada
shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
·
Hambali :
wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca
surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua
rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan
nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara
membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya
pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya.
Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan
bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak
tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan
di bawah pusar. (Mughniyah; 2001)
Empat mazhab
menyatakan bahwa membaca amin adalah
sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda :
(Mughniyah; 2001) ”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim
waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
5. Ruku’
: semua ulama mazhab sepakat bahwa
ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib
atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’
semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. (Mughniyah; 2001)
·
Hanafi :
yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak
wajib thuma’ninah.
·
Mazhab-mazhab yang lain :
wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada
dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak
bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah; 2001)
·
Syafi’i,
Hanafi, dan Maliki :
tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan :
(Mughniyah; 2001) Subhaana rabbiyal
’adziim ”Maha
Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
·
Hambali :
membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah;
2001)Kalimatnya menurut Hambali :
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hanafi :
tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam
keadaan berdiri). (Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal
itu makruh.
·
Mazhab-mazhab yang
lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan
membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :Sami’allahuliman hamidah ”Allah mendengar orang yang
memuji-Nya”
6. Sujud
: semua ulama mazhab sepakat bahwa
sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya.
(Mughniyah; 2001)
·
Maliki,
Syafi’i, dan Hanafi :
yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah.
(Mughniyah; 2001)
·
Hambali :
yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua
lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung,
sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001) Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di
dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam
ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud.
·
Hanafi :
tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud.
(Mughniyah; 2001)
7. Tahiyyat
: tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama
yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari
shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang
kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada
shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. (Mughniyah; 2001)
Hambali : tahiyyat pertama
itu wajib. Mazhab-mazhab
lain : hanya sunnah.
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir
adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan
wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi : Attahiyatu lillahi washolawaatu
waththoyyibaatu wassalaamu ”Kehormatan itu kepunyaan Allah,
shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera” ’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh ”Kepadamu,
wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya” Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga
kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah ”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah ”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Maliki (Mughniyah; 2001) Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu
lillah ”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah,
kebaikan dan shalawat juga bagi Allah” Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan
rahmat Allah serta barakah-Nya” Assalaamu’alainaa
wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga kesejahteraan tercurah
kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh” Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa
syariikalah ”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang
Esa tidak ada sekutu bagi-Nya” Waasyhadu
anna muhammadan ’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa
muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001) Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah ”Kehormatan,
barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”
Assalaamu’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh ”Salam sejahtera
kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya” Assalaamu’alainaa wa ’alaa
’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga kesejahteraan tercurah kepada
kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh” Asyhadu anlaa ilaaha illallah ”Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah” Waasyhadu
anna muhammadan ’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa
muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Hambali : (Mughniyah; 2001) Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan” Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh ”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya” Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan” Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh ”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya” Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami
dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh” Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah ”Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu
warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan
rasul-Nya”
Allahumma sholli
’alaa Muhammad ”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada
muhammad”
8.
Mengucapkan salam
(Mughniyah; 2001)
Syafi’i,
Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul
Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
Menurut empat mazhab,
kalimatnya sama yaitu : Assalaamu’alaikum
warahmatullaah ”Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah
kepada kalian”
Hambali :
wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu
kali saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)
9. Tertib
: diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib
didahulukan dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca
Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan daru sujud,
begitu seterusnya. (Mughniyah; 2001)
10. Berturut-turut
: diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung,
juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah
langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca
Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak
boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf.
(Mughniyah; 2001)
Memang banyak terdapat perbedaan dalam tata cara sholat,
tapi itu tidak seharusnya membuat umat Islam terpecah belah. Bahkan seharusnya
itu menjadi pemersatu umat. Dalam Al Qur’an juga sedikit disinggung tentang
perbedaan ini.
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al
Hujurat – 13)
2.1.4
Hikmah Sholat dalam Melatih Kedisiplinan
Ibadah ritual dalam
Islam sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dan kepribadian Muslimin.
Sholat adalah salah satunya. Banyak efek positif sholat yang berguna untuk pengembangan
kepribadian, salah satunya adalah kedisiplinan atau keteraturan.
Hikmah kedisiplinan
dalam konsep sholat telah banyak dikemukakan oleh para pemikir dan ulama Islam.
Sholat fardhu yang wajib dilaksanakan oleh seorang Muslim dalam sehari semalam
ada lima kali. Waktunya pun sudah terjadwal dengan rapi.
“sesungguhnya sholat
bagi orang-orang Mukmin adalah kewajiban yang waktunya ditentukan (terjadwal).”
(QS An Niaa’:103).
Penentuan waktu sholat ini jelas
menunjukan ajaran kedisiplinan yang berperan penting dalam kesuksesan
seseorang.
“Suatu ketika Abdullah bin Mas’ud
bertanya pada Rasulullah SAW: ” Wahai Rasulullah pekerjaan apakah yang paling
Allah cintai?”, Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya”. Ia bertanya: “Lalu
apalagi Ya Rasul?”, Beliau menjawab: “Taat pada orang tua”. Ia bertanya: “Lalu
apalagi Ya Rasul?”, Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah.”” (Hadist
Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad, Dârul Quthni)
Hadist
ini cukup menarik perhatian, selain perawinya yang banyak, kandungan hadist di
atas pun layak untuk dicermati. Mengapa shalat tepat pada waktunya dapat
menempati rating teratas dari sekian banyak pekerjaan yang sangat Allah cintai,
ternyata ia dapat “menyisihkan” ketaatan pada orang tua dan jihad di jalan
Allah.
Kita bisa melihat dan
membaca kisah kesuksesan orang karena aktifitas yang mereka lakukan setiap harinya terjadwal dengan baik. Orang
yang jarang membuat jadwal kegiatan cenderung melalaikan suatu kegiatan yang
seharusnya dikerjakan pada waktu itu. Konsep ini lah yang melatih kedisiplinan
kita dengan sholat.
Selain itu, Kita juga
bisa mengambil pelajaran disiplin dari
tata cara shalat. Mulai dari bersuci sampai pada pelaksanaan shalat, dan bahkan
setelah shalat. Konsep tertib dalam aktivitas shalat mengajarkan kedisiplinan
dan keteraturan. Seseorang tidak dibenarkan mendahulukan suatu rukun shalat
yang seharusnya diakhirkan. Kalau dia tetap melakukannya, jelas shalatnya tidak
sah secara syariah.
2.2 Shalat
Jama’ah
2.2.1 Pengertian Shalat Jama’ah
Shalat berjama’ah merupakan syari’at islam yang
sangat agung, menyerupai shafnya malaikat ketika mereka beribadah, dan ibarat
pasukan dalam suatu peperangan, itulah yang menjadi salah satu factor terjalinnya
rasa saling mencintai sesama muslim, saling mengenal, saling mengasihi, saling
menyayangi, menampakkan kekuatan, dan kesatuan.
Allah mensyari'atkan bagi umat islam berkumpul pada
waktu-waktu tertentu, di antaranya ada yang setiap satu hari satu malam seperti
shalat lima waktu, ada yang satu kali dalam seminggu, seperti shalat jum’at,
ada yang satu tahun dua kali di setiap Negara seperti dua hari raya, dan ada
yang satu kali dalam setahun bagi umat islam keseluruhan seperti wukuf di
arafah, ada pula yang dilakukan pada kondisi tertentu seperti shalat istisqa’
dan shalat kusuf.
2.2.2
Perintah dan Hukum Shalat Jama’ah
Shalat berjama`ah hukumnya wajib atas setiap muslim laki-laki, baik ia
dalam keadaan menetap maupun dalam perjalanan, dalam keadaan aman maupun dalam
keadaan genting. Berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah dan
pendapat Ahlu Ilmi, dan disini kami akan memaparkan sebagiannya saja. Diantara
dalil-dalil tersebut adalah :
a.
QS. An-Nisa :102
وَإذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأقَمْتَ
لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا
أسْلِحَتَهُمْ فَإذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ
طَآئِفَةٌ أخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأخُذُوا حِذْرَهُمْ
وَأسْلِحَتَهُمْ
“Dan apabila kamu berada
di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah
dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang
kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah
mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.”
Setiap perintah yang ditujukan
kepada Nabi merupakan perintah yang berlaku sekaligus kepada ummatnya selama
tidak ada dalil yang menunjukan atas kekhususannya kepada Nabi saja. Ayat Al
Qur’anul Karim ini menerangkan kepada kita akan hukum wajibnya shalat berjama’ah,
dimana tidak ada rukhshah (dispensasi) kepada kaum muslimin untuk
meninggalkannya di dalam keadaan khauf (yang mengkhawatirkan) sekali
pun. Seandainya shalat berjama’ah ini hukumnya tidak wajib, sudah tentu lebih
utama untuk ditinggalkan dengan adanya alasan (`udzur) khauf itu
sendiri.
b.
QS. Al-Baqarah : 43
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku.”
Ayat Al Quranul Karim ini
merupakan nash yang menunjukan hukum wajibnya shalat berjama’ah, dan sekaligus
sebagai perintah untuk ikut mengambil bagian bersama dengan para jama’ah shalat
lain di dalam mendirikan shalat berjama’ah. Di awal ayat, Allah memerintahkan
untuk mendirikan shalat dan kemudian di akhir ayat yang berbunyi: “Warka`uu
ma`ar raaki`iin” yang berarti ”ruku’lah
bersama orang-orang yang ruku’” ini dimaksudkan untuk melaksanakan shalat
bersama orang-orang yang shalat, atau dengan kata lain melaksanakan shalat
secara berjama’ah.
c.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda :
((وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ
هَمَمْتُ أنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاةِ فَيُؤَذَّنَ
لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أخَالِفَ إلَى رِجَالٍ
فَأحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ )). متفق عليه.
((Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, rasanya aku ingin menyuruh
mengumpulkan kayu bakar, dan kuperintahkan mengumandangkan adzan untuk
mendirikan shalat, kemudian aku instruksikan seseorang untuk mengimami jama’ah
shalat. Selanjutnya aku berbalik menuju orang-orang yang tidak shalat berjama’ah,
lalu aku bakar mereka bersama rumah-rumah mereka.)) Muttafaqun ‘Alaih
d.
Dari Abu Hurairah r.a. katanya seorang laki-laki buta
datang kepada Rasulullah s.a.w., lalu bertanya :
(( أتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلٌ أعْمَى فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ
يَقُودُنِي إلَى الْمَسْجِدِ. فَسَألَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أنْ يُرَخِّصَ لَهُ فِي بَيْتِهِ. فَرَخَّصَ لَهُ. فَلَمَّا وَلَّى
دَعَاهُ فَقَالَ : هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ ؟ قَالَ : نَعَمْ. قَالَ فَأجِبْ )).
متفق عليه.
((“Ya Rasulullah, aku ini buta. Tidak ada orang yang akan
menuntunku pergi ke masjid (untuk shalat berjama`ah). Lalu dia memohon kepada
Rasulullah s.a.w. agar membolehkannya shalat di rumahnya. Mula-mula Rasulullah
s.a.w. membolehkannya, tetapi setelah orang itu pergi belum begitu jauh, dia
dipanggil kembali oleh Rasulullah s.a.w. seraya bertanya : “Apakah adzan dan
shalat terdengar sampai kerumahmu ?”. Jawab orang buta itu : “Terdengar, ya
Rasulullah !. Sabda Nabi saw : “Kalau begitu, penuhilah panggilan adzan
tersebut !”.)) Muttafaqun `Alaih.
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan
tentang kewajiban shalat berjama’ah dan kewajiban untuk menegakkannya pada
masjid-masjid yang didirikan atas dasar ketakwaan untuk meninggikan dan
menyebut nama-Nya. Maka wajib atas setiap muslim untuk memelihara shalat
berjama’ah ini, bersegera untuk merealisasikannya dan mewasiatkan kepada
anak-anak, keluargan, tetangga, serta seluruh saudara-saudara muslim lainnya
sebagai manifestasi dari perintah Allah dan Rasul-Nya dan dari peringatan
terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dan merupakan suatu
upaya menjauhkan diri dari segala penyerupaan tingkah laku orang-orang munafik,
di mana Allah melukiskan diri mereka dengan sifat-sifat tercela, diantaranya
bermalas-malsan dalam mendirikan shalat.
2.2.3
Keutamaan Shalat Jama’ah
a.
Pahala shalat berjama’ah lebih baik daripada pahala
shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ((صَلاةُ الْجَمَاعَةِ
أفْضَلُ مِنْ صَلاةِ الْفَرْدِ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَة)). متفق عليه.
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : ((Shalat
berjama’ah lebih utama daripada shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.))
Muttafaqun ‘Alaihi.
b.
Setiap langkah yang diayunkan seorang muslim untuk
menegakkan shalat berjama’ah terhitung disisi Allah sebagai pahala dan ganjaran
baginya. Tidaklah setiap ayunan langkahnya melainkan terangkat baginya satu
derajat dan dihapuskan satu dosa untuknya. Sebagaimana hadits yang terdapat di
dalam shahihain.
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((صَلاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ
عَلَى صَلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ
أنَّهُ إذَا تَوَضَّأ فَأحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إلَى الْمَسْجِدِ لا
يُخْرِجُهُ إلاّ الصَّلاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إلاّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّتْ عَنْهُ بِهَا
خَطِيئَةٌ فَإذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ
فِي مُصَلاّهُ تَقُوْلُ : اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، وَلا
يَزَالُ أحَدُكُمْ فِي صَلاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاةَ)). واللفظ البخاري.
Dari Abu Hurairah r.a.berkata:
Rasululah n bersabda:
((Pahala shalat seseorang yang
berjamaah melebihi pahala shalat sendirian di rumahnya dan dipasarnya dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu apabila ia
berwudhu’ dengan sebaik-baiknya, kemudian ia pergi menuju masjid, tidak ada
tujuan lain kecuali untuk shalat berjama’ah maka tidaklah setiap langkah yang
diayunkannya melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapuskan untuknya
satu dosa, apabila ia melakukan shalat berjama’ah maka para malaikat senantiasa
mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dan juga ia belum
berhadats. Para Malaikat berdoa : “Allahumma shalli ‘alaihi, Allahummarhamhu
(Ya Allah, Ampunilah dia dan rahmatilah).” Dan tetap ia dianggap shalat selama
ia menunggu waktu shalat berikutnya tiba.)) Lafadz hadits Al Bukhari.
Siapa saja yang menunggu waktu shalat
berikutnya tiba, di dalam masjid, akan memperoleh 4 (empat) keistimewaan yaitu
:
1. Ia seperti
seorang yang selalu siap tempur di jalan Allah.
2. Dicatat baginya
pahala shalat meskipun ia menantikannya dalam keadaan duduk.
3. Para malaikat
memohonkan ampunan untuknya.
4.
Jika pada saat itu dia mengisi waktunya dengan membaca
Al-Qur’an dan zikrullah maka akan
ditambahkan baginya pahala tilawah dan zikir.
c.
Seseorang yang selalu melaksanakan shalat berjama`ah
dijamin terlepas dari sifat nifaq.
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه
قَالَ ((مَنْ سَرَّهُ أنْ
يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاءِ الصَّلَوَاتِ
حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ
أنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ
لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ
لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ
إلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إلاّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ
خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا
سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إلاّ مُنَافِقٌ
مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ
الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
)). رواه مسلم.
Dari Ibnu Mas`ud رضي الله عنه
berkata: ))Barangsiapa yang
ingin bertemu dengan Allah kelak (dalam keadaan) sebagai seorang muslim, maka
hendaklah dia memelihara shalat setiap kali ia mendengar panggilan shalat.
Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnanal huda (jalan-jalan petunjuk) dan
sesungguhnya shalat berjama’ah merupakan bagian dari sunnanil huda. Apabila
kamu shalat sendirian di rumahmu seperti kebiasaan shalat yang dilakukan oleh
seorang mukhallif (yang meninggalkan shalat berjama’ah) ini, berarti kamu telah
meninggalkan sunnah nabimu, apabila kamu telah meninggalkan sunnah nabimu,
berarti kamu telah tersesat. Tiada seorang pun yang bersuci (berwudhu’) dengan
sebaik-baiknya, kemudian dia pergi menuju salah satu masjid melainkan Allah
mencatat baginya untuk setiap langkah yang diayunkannya satu kebajikan dan
diangkat derajatnya satu tingkat dan dihapuskan baginya satu dosa. Sesungguhnya
kami berpendapat, tiada seorang pun yang meninggalkan shalat berjama’ah
melainkan seorang munafik yang jelas-jelas nifak. Dan sesungguhnya pada masa
dahulu ada seorang pria yang datang untuk shalat berjama`ah dengan dipapah oleh
dua orang laki-laki sampai ia didirikan di dalam barisan shaff shalat berjama’ah.))
H.R. Muslim.
d.
Orang yang
shalat berjama`ah terbebas dari segala perangkap syaithan :
عَنْ أبِي الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ((مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي
قَرْيَةٍ وَلا بَدْوٍ لا تُقَامُ فِيهِ الصَّلاةُ إلاّ قَدِ اسْتَحْوَذَ
عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإنَّمَا يَأكُلُ الذِّئْبُ
الْقَاصِيَةَ)). رواه أبو داود والنسائي وإسناده جيد.
Dari
Abu Darda رضي
الله عنه berkata : Saya telah
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : ((Tidaklah dari tiga orang yang
berada di sebuah perkampungan maupun sebuah dusun dan mereka tidak mendirikan
shalat berjama`ah di dalamnya, melainkan syaithan telah menguasai diri mereka.
Maka hendaklah atas kamu bersama jama`ah, sesungguhnya srigala hanya menerkam
kambing yang terpisah dari kawannya.)) H.R. Abu Daud dan An-Nasa’i dengan sanad
jayyid.
2.2.4 Ancaman tidak Shalat
Jama’ah
Ancaman bagi orang-orang yang tidak melaksanakan
shalat berjama’ah terdapat dalam hadist berikut ini:
عَنْ
أبِي الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ((مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلا بَدْوٍ
لا تُقَامُ فِيهِ الصَّلاةُ إلاّ قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ
فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإنَّمَا يَأكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ)). رواه
أبو داود والنسائي وإسناده جيد.
Dari
Abu Darda رضي
الله عنه berkata : Saya telah
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : ((Tidaklah dari tiga orang yang
berada di sebuah perkampungan maupun sebuah dusun dan mereka tidak mendirikan
shalat berjama’ah di dalamnya, melainkan sesungguhnya syaithan telah menguasai
diri mereka. Maka hendaklah kamu bersama jama`ah, sesungguhnya srigala hanya
menerkam kambing yang terpisah dari kawanannya.)) H.R. Abu Daud dan An-Nasa`i
dengan sanad jayyid.
2.2.5 Membangun Persatuan Ummat dengan Sholat Berjamaah
Shalat yang dilakukan
dengan cara berjamaah juga lebih mudah untuk dapat diterima disisi Allah,
sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anatuthalibin, dengan berjamaah kekurangan
salah seorang peserta jamaah dapat disempurnakan dengan yang lain, sehingga
seluruhnya dinilai menjadi shalat yang sempurna. Ibarat menjual buah jeruk,
jika dijual satu persatu, tentu pembeli hanya akan memilih jeruk yang
benar-benar bagus dan segar. Namun jika buah jeruk itu dijual dengan cara
borongan, maka jeruk yang kurang bagus pun akan turut terbeli, demikian pula
halnya dengan ibadah shalat kita.
Mengenai hal ini, Rasulullah
Saw. dalam sabda Beliau mengibaratkan, bahwa harimau hanya akan memakan kambing
yang jauh dari kawanannya, setan akan mudah merasuki orang yang terpisah dari
jamaahnya, yang tidak melaksanakan shalat dengan berjamaah. Rasulullah Saw.
bersabda:
مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِيْ قَرْيَةٍ أَوْ بَدْوٍ لاَ تُقَامُ فِيْهِمُ الْجَمَاعَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
Artinya: “Tidaklah di suatu desa atau sahara, tidak didirikan shalat berjamaah di antara mereka kecuali mereka akan dikuasai dan dikalahkan oleh setan. Maka dirikanlah shalat jamaah, karena sesungguhnya harimau akan memakan kambing yang jauh dari kawanannya.” (HR. Abu Dawud).
Artinya: “Tidaklah di suatu desa atau sahara, tidak didirikan shalat berjamaah di antara mereka kecuali mereka akan dikuasai dan dikalahkan oleh setan. Maka dirikanlah shalat jamaah, karena sesungguhnya harimau akan memakan kambing yang jauh dari kawanannya.” (HR. Abu Dawud).
Selain itu, shalat
berjamaah juga memiliki hikmah yang tidak sedikit bagi kehidupan sosial
kemasyarakatan. Shalat berjamaah mengajarkan banyak hal penting bagi kehidupan
sosial, tentang bagaimana mestinya seorang muslim bergaul dan menjalin hubungan
dengan sesama dalam kehidupan ini.
Dapat kita lihat, dalam
shalat berjamaah seluruh jamaah berdiri dalam barisan yang rapi di bawah
komando satu pemimpin. Tidak diperkenankan bagi seorang makmum mendahului
gerakan shalat sang imam. Ini menyimpan hikmah dan pelajaran untuk selalu
menjaga persatuan umat dan selalu patuh kepada atasan, serta tidak melakukan
pemberontakan atau pembangkangan.
Jika dalam pelaksanaan
shalat imam melakukan suatu kesalahan, dianjurkan bagi makmum untuk
mengingatkannya, yaitu dengan cara membaca tashbih bagi laki-laki, dan
menepukkan tangan bagi perempuan. Secara konteks hal ini juga memberikan
pelajaran tentang cara amar makruf dan nahi mungkar yang tepat, yakni
mengingatkan dengan cara yang halus atau dengan sikap. Bukan dengan kekerasan
dan tindak anarkis.
Kepatuhan seseorang
terhadap pemimpin merupakan manifestasi dari perintah Allah. Dalam al Quran
Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. an-Nisa`: 59).
Dari sisi yang lain, dapat
kita lihat bagaimana shalat berjamaah mengajarkan persamaan derajat antar
sesama. Yang miskin bisa berdampingan dengan yang kaya, seorang presiden bisa
berdampingan dengan seorang buruh dalam satu barisan shalat. Ini merupakan
suatu gambaran nyata bahwa di mata Allah, semua manusia itu sama, derajat
maupun pangkat yang mereka peroleh di dunia ini tidak ada artinya di sisi
Allah. Hanya keimanan dan ketakwaan yang membuat manusia bisa mulia dan dekat
di sisi Allah. Allah Swt berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Shalat berjamaah juga
memiliki peran yang sangat penting bagi persatuan dan kesatuan, serta kerukunan
hidup bermasyarakat. Sebab, dengan selalu melaksanakan shalat berjamaah di
masjid, seorang muslim bisa lebih sering bertemu dengan saudara seiman, berbincang,
dan bercengkrama. Hingga keakraban dan rasa saling mencintai antar mereka dapat
tumbuh subur dan bersemi. Dengan begitu, mereka juga bisa saling belajar satu
sama lain dan saling mengingatkan bila ada yang salah di antara mereka. Karena
seorang muslim adalah cermin bagi muslim yang lain, sebagaimana Rasulullah Saw.
bersabda:
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ أَخِيْهِ إِذَا رَأَى فِيْهَا عَيْبًا أَصْلَحَهُ
Artinya: “Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya.
Ketika ia melihat kekurangan pada cermin itu, maka benahilah.” (HR. Bukhari).
Bahkan, seorang ulama berkata, persatuan dan kesatuan penduduk suatu daerah dapat dilihat dari pelaksanaan shalat jamaah di daerah tersebut. Jika shalat berjamaah bisa terlaksana dengan baik dan sesuai dengan tatacaranya, dengan barisan yang rapat dan lurus, dapat dipastikan persatuan penduduknya juga baik. Sebaliknya, jika jamaah di daerah tersebut kurang maksimal, tentu persatuan penduduk tersebut mudah terpecah belah.
Bahkan, seorang ulama berkata, persatuan dan kesatuan penduduk suatu daerah dapat dilihat dari pelaksanaan shalat jamaah di daerah tersebut. Jika shalat berjamaah bisa terlaksana dengan baik dan sesuai dengan tatacaranya, dengan barisan yang rapat dan lurus, dapat dipastikan persatuan penduduknya juga baik. Sebaliknya, jika jamaah di daerah tersebut kurang maksimal, tentu persatuan penduduk tersebut mudah terpecah belah.
2.2.6
Kesempurnaan Shalat Jama’ah
Di antara syari’at yang diajarkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah meluruskan dan
merapatkan shaf dalam shalat berjamaah. Namun saat ini, kaum muslim mulai lalai
melaksanakan sunnah untuk merapatkan dan
meluruskan shaf. Karena sesungguhnya, barangsiapa yang melaksanakan syari’at,
petunjuk dan ajaran-ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam
meluruskan dan merapatkan shaf, sungguh dia telah menunjukkan ittiba’ nya
(mengikuti) dan hakikat kecintaannya kepada beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Shalat
berjamaah merupakan amal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam . Sebagaimana sabdanya, “Shalat
berjamaah lebih afdhal dari shalat sendirian dua puluh derajat”. Dan dalam
shalat berjama’ah juga disunnahkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf
(barisan), sebagaimana di dalam sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam
سَوُّوْا
صُفُوْفَكُمْ فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْإقَامة الصلاة
“Luruskan
shafmu, karena sesungguhnya meluruskan shaf itu merupakan bagian dari
kesempurnaan shalat”. (Muttafaq
‘Alaih).
Shof
yang tidak baik (tidak rapat dan rapi) akan memberikan setan peluang untuk
mengganggu di tengah-tengah shof yang tidak sempurna. Akibatnya hati akan mudah
dicerai-beraikan dan mudah berselisih.
2.2.5 Hikmah dan Manfaat Shalat
Jama’ah
a.
Terbebas dari perangkap syaithan dengan segala
kejahatannya, dan dengan demikian ia
telah masuk ke dalam jama’ah muslimin sehingga syaithan menghindar darinya,
sedangkan orang yang meninggalkan shalat berjama’ah, berarti ia telah
ditundukkan oleh syaithan.
b.
Ta’awun ‘alal biri wa taqwa (tolong menolong
dalam kebajikan dan takwa) serta amar ma’ruf dan nahi mungkar. Hal ini terlihat pada saat implementasinya,
dimana kaum muslimin bersama-sama berdiri dihadapan Allah di dalam barisan
(shaff) yang teratur dengan dipimpin
oleh seorang imam, ibarat sebuah bangunan yang kokoh sehingga mencerminkan
kekuatan dan persatuan kaum muslimin.
c.
Terhimpunnya suara kaum muslimin menjadi satu, hati-hati mereka berpadu,
saling mengindentifikasi satu sama lainnya sehingga tergalang rasa solidaritas
diantara mereka.
d.
Terlahir rasa kelembutan dan kasih sayang sesama
muslim, menghilangkan sifat kesombongan dan besar diri serta dapat mempererat
ikatan persaudaran seagama (ukhuwah islamiyah) maka terjadilah interaksi
langsung antara kalangan tua dengan yang muda dan antara orang kaya dan yang
miskin.
e.
Mendapat banyak pelajaran keimanan dari shalat
berjama’ah ini, anda dapat mendengarkan langsung alunan ayat-ayat Al Qur’an
yang mengetarkan hati.
f.
Syaithan menjauh darinya dikarenakan lari ketika
mendengar suara azan.
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه
أنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ((إذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ أدْبَرَ
الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا قَضَى
النِّدَاءَ أقْبَلَ حَتَّى إذَا ثُوِّبَ بِالصَّلاةِ أدْبَرَ حَتَّى إذَا قَضَى
التَّثْوِيبَ أقْبَلَ حَتَّى يَخْطِرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ
اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ
لا يَدْرِي كَمْ صَلَّى )). رواه البخاري.
Dari Abu Hurairah r.a.bahwa
Rasulullah s.a.w. bersabda : ((Ketika diserukan azan untuk shalat, maka
larilah syaithan sampai terkentut-kentut, sehingga tidak terdengar lagi olehnya
suara aan tersebut. Apabila azan telah selesai dikumandangkan, dia datang lagi.
Kemudian jika terdengar suara qomat, dia pergi lagi. Ketika qomat selesai
dikumandangkan, dia datang lagi hendak menggoda orang yang shalat. Katanya :
“Ingatlah ini, ingatlah itu”, mengingatkan apa-apa yang tadinya ia tidak ingat
sama sekali, sehingga ia lupa telah berapa rakaat dia shalat.)) H.R. Bukhari.
g.
Terbebas dari sifat nifak dan dari kesalah pahaman
orang lain terhadap dirinya yang mengira bahwa ia telah meninggalkan shalat
yang pokok.
2.3 Membangun Sholat Khusyu’
Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan bahwa Khusyu'
adalah: "Ketenangan, tuma'ninah, pelan-pelan, ketetapan hati, tawadhu',
serta merasa takut dan selalu merasa diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla."
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa Khusyu' adalah:
"Menghadapnya hati di hadapan Robb ‘Azza wa Jalla dengan sikap tunduk dan
rendah diri." (Madarijusslikin 1/520 )
Definisi lain dari khusyu' dalam shalat adalah: "Hadirnya hati di
hadapan Allah Subhânahu wa Ta'âla, sambil mengkonsertasikan hati agar dekat
kepada Allah Subhânahu wa Ta'âla, dengan demikian akan membuat hati tenang,
tenangnya gerakan-gerakannya, beradab di hadapan Robbnya, konsentrasi terhadap
apa yang dia katakan dan yang dilakukan dalam shalat dari awal sampai akhir,
jauh dari was-was syaithan dan pemikiran yang jelek, dan ia merupakan ruh
shalat. Shalat yang tidak ada kekhusyukan adalah shalat yang tidak ada
ruhnya." (Tafsir Taisir Karimirrahman, oleh Syaikh Abdurrahman Nashir
as-Sa'di)
Untuk
mencapai hal-hal yang akan mendatangkan kekhusyukan ada beberapa kiat yang
dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, diantaranya:
a. Mempersiapkan diri sepenuhnya untuk shalat
Adapun bentuk-bentuk persiapannya yaitu: ikut menjawab azan yang
dikumandangkan oleh muazin, kemudian diikuti dengan membaca do'a yang
disyariatkan, bersiwak karena hal ini akan membersihkan mulut dan
menyegarkannya, kemudian memakai pakaian yang baik dan bersih, sebagaimana
firman Allah Ta'âla: "Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di
setiap memasuki masjid, makanlah dan minumlah. Jangan berlebihan, sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang yang berlebihan." (QS. al-A'raaf: 31)
Diantara bentuk persiapan lain adalah berjalan ke masjid dengan penuh
ketenangan dan tidak tergesa-gesa, lalu setelah sampai di depan masjid, maka
masuk dengan membaca do'a dan keluar darinya juga membaca do'a, melaksanakan
shalat sunnat Tahiyyatul masjid ketika telah berada di dalam masjid, merapatkan
dan meluruskan shaf, karena syetan berupaya untuk mencari celah untuk
ditempatinya dalam barisan shaf shalat. Dengan melakukan bentuk persiapan
tersebut maka Insya Allah akan membantu dalam kekhusyukan.
b. Tuma'ninah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selalu tuma'ninah dalam
shalatnya, sehingga seluruh anggota badannya menempati posisi semula, bahkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang yang buruk
shalatnya supaya melakukan tuma'ninah sebagaimana sabda beliau shallallahu 'alaihi
wa sallam: "Tidak sempurna shalat salah seorang diantara kalian, kecuali
dengannya (tuma'ninah)."
Bahkan di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam menyamakan orang yang tidak tuima'ninah tersebut dengan orang yang
mencuri dalam shalatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah
radhiyallahu 'anhu: "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Seburuk-buruk pencurian yang dilakukan manusia adalah orang
yang mencuri shalatnya." Qatadah berkata: "Ya Rasulullah, bagaimana
seseorang tersebut di katakan mencuri shalatnya? Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Ia tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya." (HR.
Ahmad dan al-Hakim 1/229)
Orang yang tidak tuma'ninah dalam shalatnya, tentu tidak akan merasakan kekhusyukan,
sebab menunaikan shalat dengan cepat akan menghilangkan kekhusyukan, sedangkan
shalat seperti mematuk burung, maka hal itu akan menghilangkan pahala.
Oleh karena itulah karena pentingnya tuma'ninah, maka wajib bagi seorang
muslim untuk tuma'ninah dalam shalatnya sehingga shalatnya diterima oleh Allah
Ta'âla.
c.
Mengingat mati ketika shalat
Hal ini berdasarkan wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Apabila engkau shalat maka shalatlah seperti orang yang hendak berpisah (mati)".
(HR. Ahmad V/412, Shahihul Jami', no. 742)
Jelaslah bahwasanya hal ini akan mendorong setiap orang untuk
bersungguh-sungguh dalam shalatnya, karena orang yang akan berpisah tentu akan
merasa kehilangan dan tidak akan berjumpa kembali, sehingga akan muncul upaya
dari dalam dirinya untuk bersungguh-sungguh, dan hal ini seolah-olah baginya
merupakan kesempatan terakhir untuk shalat.
d.
Menghayati makna bacaan shalat
Al-Qurân diturunkan agar direnungkan dan dihayati maknanya, sebagaimana
firman-Nya ‘Azza wa Jalla: "Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan
kepadamu penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad: 29)
Sikap penghayatan tidak akan terwujud kecuali dengan memahami makna
swetiap yang kita baca. Dengan memahami maknanya, maka seseorang akan dapat
menghayati dan berfikir tentangnya, sehingga mengucurlah air matanya, karena
pengaruh makna yang mendalam sampai ke lubuk hatinya. Dalam hal ini Allah
Subhânahu wa Ta'âla berfirman: "Dan orang-orang yang apabila diberi
peringatan dengan ayat-ayat Robb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai
orang yang tuli dan buta". (QS. al-Furqan: 73)
Di dalam ayat yang mulia ini Allah Subhânahu wa Ta'âla menjelaskan
betapa pentingnya memperhatikan makna dari ayat yang dibaca. al-Imam Ibnu Jarir
rahimahullah berkata: "Sesungguhnya saya sangat heran kepada orang yang
membaca al-Qurân, sementara dia tidak mengetahui maknanya. Bagaimana mungkin
dia akan mendapatkan kelezatan ketika dia membacanya? (Muqaddimah Tafsir
at-Thobari karya Muhammad Syakir)
e. Membaca
surat sambil berhenti pada tiap ayat
Hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
sebagaimana yang dikisahkan oleh Ummu Salamah radhiyallahu 'anha tentang
bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam membaca al-fatihah,
yaitu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Basmalah, kemudian berhenti,
kemudian membaca ayat berikutnya lalu berhenti. Demikian seterusnya sampai
selesai (HR. Abu Daud, no. 4001)
f. Membaca
al-Qurân dengan tartil
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhânahu wa Ta'âla: "Dan bacalah
al-Qurân dengan perlahan-lahan". (QS. al-Muzammil: 4)
Dan diriwayatkan dengan shahih bahwa bacaan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam adalah perlahan-lahan serta satu huruf-satu huruf (Musnad
Ahmad 6/294 dengan sanad shahih, Shifatus sholah: 105)
Membaca dengan perlahan dan tartil lebih bisa membantu untuk merenungi
ayat-ayat yang dibaca dan mendatangkan kekhusyu'an. Adapun membaca dengan ketergesa-gesaan
akan menjauhkan hati dari kekhusyukan.
g.
Meletakkan sutrah.(tabir pembatas) dan mendekatkan diri kepadanya
Hal ini lebih bertujuan untuk memperpendek dan menjaga penglihatan orang
yang sedang melaksankan Shalat, sekaligus menjaga dirinya dari syetan.
Disamping itu juga dapat menjauhkan diri dari lalu lalangnya orang yang lewat
di sekitar kita, karena lewatnya orang lain secara hilir mudik dapat mengganggu
kekhusyukan shalat.
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Jika salah seorang diantara kalian melaksanakan Shalat dengan menggunakan
tabir, maka hendaklah ia mendekat padanya, sehingga syetan tidak akan memotong
Shalatnya".(HR. Abu Daud, no. 446/1695)
Adapun jarak antara seseorang dengan tabir (sutrah) adalah tiga kali
panjang lengan, dan antara tabir dengan tempat sujudnya adalah, seluas tempat
lewatnya seekor kambing, sebagaimana yang banyak disebut dalam hadits-hadits
shahih. (lihat Fathul Bari 1/574-579)
h. Melihat
kearah tempat sujud
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:
"Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika sedang shalat,
beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menundukkan kepala serta mengarahkan
pandangannya ke tanah (tempat sujud)". (HR. al-Hakim 1/479, dia berkata
shahih menurut syarat Bukhari
dan Muslim, disepakati juga oleh al-Albani dalam buku shifatus Shalatin
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal 89)
Dari sini jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
Shalat melihat ke arah tempat sujud dan tidak memejamkan matanya, maka orang
yang memejamkan matanya berarti amalannya bertentangan dengan sunnah.
BAB III
PENUTUP
Selepas masa khalifah islam terus dijajah dan
dianiaya oleh kaum kafir, akan tetapi orang islam saat ini tidak bisa bersatu
dan terus berselisih satu dengan yang lain. Kita mudah diprovokasi dan di adu
domba oleh orang-orang kafir dan perpecahanpun tidak bisa kita hindari. Karena itu
saat ini sangat diperlukan usaha-usaha untuk mempersatukan umat muslim.
Salah satu usaha yang paling memungkinkan dilaksanakan dan dapat
dilakukan secara kontinu adalah melalui shalat
berjama’ah. Banyak hikmah, keutamaan, dan manfaat yang bisa didapatkan dari
shalat berjamaah. Salah satunya bisa menjadi pemersatu ummat, yang mana
kesatuan ummat ini sangat diidam-idamkan oleh seluruh kaum muslimin di seluruh
dunia, sehingga kita dapat mengembalikan kejayaan islam. Karena dengan shalat
berjama’ah ini akan timbul rasa kasih sayang antar ummat, dan dijauhkan oleh
Allah dari pertikaian dan perpecahan, sehingga persatuan ummat pasti bisa
tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abu Abdil Aziz, Translator: Rendusara, Muh. Khairuddin, Editor: Ziyad,
Eko Haryanto Abu. 2010.
“Keutamaan Shalat Berjamaah”. (Online) (http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_books/single/id_Keutamaan_Shalat_Berjamaah.doc)
Al-Buthy, Muhammad Sa'id
Ramadhan. “Kitab Fiqhu 's-Sirrah” tentang “perbedaan pendapat (khilafiyah, ikhtilaf) di
kalangan umat Islam”
Anonim. 2007. “Hukum
Shalat dan Keutamaannya”. (Online) (http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_articles/chain/Summary_of_the_Islamic_Fiqh_Tuwajre/03_Worship/02_Salah/id_salat_01.pdf)
Djamaluddin, Thomas. 2011. “Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat”.
(Online) (http://tdjamaluddin.files.wordpress.com/2011/08/astronomi-memberi-solusi-penyatuan-ummat-lengkap.pdf)
Ghifarie, Ibn. 2009.
“Haji dan Penyatuan Umat Manusia”. (Online) (http://www.pewarta-indonesia.com/inspirasi/rohani/2570-haji-dan-penyatuan-umat-manusia.pdf)
Katsir, Ibnu. 2000. “Tafsir
Ibnu Katsir”. Sinar Baru Algensindo: Bandung
Nashir as-Sa'di, Abdurrahman.
Tafsir Taisir Karimirrahman.
Wibowo, Heri Yulias.
(Tanpa Tahun). “Mempersatukan Ummat Islam”. Dalam Bulletin An-Nashihah. Bekasi
(Online) (http://masbadar.files.wordpress.com/2009/07/mempersatukan-ummat-islam.pdf)
Zahidi, Wan. 2013.
“Manhaj Islam Dalam Memelihara Perpaduan Ummah” (Online) (http://www.muftiwp.gov.my/v1/doc/MANHAJ_ISLAM_DALAM_MEMELIHARA_PERPADUAN_UMMAH.pdf)
Comments
Post a Comment