Definisi, Jenis, Sumber, Faktor-faktor, dan Tingkat Kebisingan


Kebisingan

1. Definisi kebisingan
Bising  merupakan  semua  suara  atau  bunyi  yang  tidak  dikehendaki  yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Menurut Keputusan Menteri Negara  Lingkungan Hidup No. Kep-48/11/1996, bising adalah bunyi  yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan  gangguan  kesehatan  manusia  dan  kenyamanan  lingkungan. Gangguan pendengaran adalah perubahan pada tingkat pendengaran yang berakibat kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal pembicaraan (Anonim, 1996).

2. Jenis kebisingan
Berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi,  menurut Chandra (2006) bising dibagi atas:
1.  Steady state dan narrow band noise
Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dBA untuk periode 0,5 detik berturut-turut, misalnya mesin, kipas angin, dan dapur pijar.
2.  Non-steady dan narrow band noise
Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit. Bising ini juga relatif  tetap,  akan  tetapi  ia  hanya  mempunyai  frekuensi  tertentu  saja  (pada frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz), misalnya gergaji sirkuler dan katup gas.
3.  Bising terputus-putus (Intermittent)
Bising di sini tidak terjadi secara terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang, misalnya suara lalu lintas dan kebisingan di lapangan terbang.
4.  Bising impulsif
Bising  jenis  ini  memiliki  perubahan  tekanan  suara  melebihi  40  dBA  dan biasanya  mengejutkan  pendengaran,  misalnya  tembakan,  suara  ledakan mercon, dan meriam.
5.  Bising Impulsif berulang.
Bising jenis ini sama dengan bising impulsif, hanya saja disini  terjadi secara berulang-ulang, misalnya mesin tempa.

Sedangkan  berdasarkan  pengaruhnya  terhadap  manusia,  bising  dapat  dibagi atas:
1.  Bising yang mengganggu (Irritating noise)
Bising dengan intensitas tidak terlalu keras, misalnya mendengkur.
2.  Bising yang menutupi (Masking noise).
Bising ini merupakan bunyi  yang menutupi pendengaran  yang jelas. Secara tidak  langsung,  bunyi  ini   akan  membahayakan  kesehatan  dan  keselamatan tenaga kerja.
3.  Bising  yang  merusak  (Damaging/Injurious  noise)  
adalah  bunyi  yang intensitasnya melampaui nilai ambang batas. Bising    jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.

3. Sumber kebisingan
Menurut  Mediastika  (2005),  sumber  bising  terbagi  atas  dua,  yakni  sumber bergerak  dan  sumber  diam.  Contoh  dari  sumber  yang  diam  adalah  industri  atau pabrik dan mesin-mesin konstruksi. Sedangkan contoh dari sumber yang bergerak, misalnya kendaraan bermotor, kereta api, dan pesawat terbang. Industri menjadi sumber  bising  karena  menggunakan  peralatan  mesin  yang  memiliki  frekuensi rendah sehingga menghasilkan bising dan getaran. Kereta api dikategorikan bising karena gesekan roda kereta api dengan rel kereta api yang terbuat dari bahan keras sehingga menimbulkan decitan. Kebisingan juga muncul dari klakson dan mesin kereta api. Sedangkan kebisingan pada pesawat terbang dihasilkan oleh mesin yang berbobot  berat  dengan  menghasilkan  tenaga  yang  kuat  sehingga  menghasilkan getaran dan bunyi bising saat tinggal landas, terbang rendah, dan mendarat.

4. Faktor-faktor yang memengaruhi kebisingan
Menurut  Mediastika  (2005),  faktor  yang  memengaruhi  kebisingan  dibagi menjadi  dua,  yakni  faktor  akustikal  meliputi  tingkat  kekerasan  bunyi,  frekuensi bunyi,  durasi  munculnya  bunyi,  fluktuasi  kekerasan  bunyi,  fluktuasi  frekuensi bunyi,  dan  waktu  munculnya  bunyi.  Sedangkan  faktor  non-akustikal  meliputipengalaman  terhadap  kebisingan,  kegiatan,  perkiraan  terhadap  kemungkinan munculnya kebisingan, manfaat objek yang menghasilkan kebisingan, kepribadian, lingkungan dan keadaan. Semua faktor tersebut harus diperhitungkan setiap kalimengukur  tingkat  kebisingan  pada  suatu  tempat  sehingga  data  yang  dihasilkan menjadi sahih dan solusi yang diterapkan lebih tepat.
Mediastika (2005) juga mengemukakan bahwa kebisingan  sangat bergantung pada  kelembapan,  kecepatan  angin,  dan  suhu  udara.  Hal  ini  disebabkan  karena bunyi  merambat  sangat  bergantung  pada  partikel  zat  medium  yang  dilaluinya. Sementara  itu,  partikel  ditentukan  oleh  susunan  partikel,  temperatur,  dan kandungan partikel lain dalam zat, seperti kandungan titik air dalam zat gas (tingkat kelembapan relatif).  Pada kasus ini, bunyi akan cenderung lebih cepat merambat pada kondisi medium yang stabil dan gelombang bunyi juga merambat lebih cepat pada suhu yang tinggi dibandingkan dengan suhu yang rendah. Pada udara hangatpanas, perambatan gelombang bunyi akan cenderung mengarah ke atas dan pada udara sejuk-dingin, perambatannya cenderung mengarah ke bawah.

5. Tingkat kebisingan
Tambunan (2005) menjelaskan tingkat kebisingan merupakan terjemahan bebas dari noise level, merupakan fungsi dari amplitudo gelombang suara dan dinyatakan dalam satuan desibel (dB). Dari sisi formula matematis, ada tiga cara berbeda yang digunakan untuk mendefinisikan tingkat kebisingan, yakni:
1.  Tingkat Intensitas Bunyi/Sound Intensity Level (SIL)
        SIL  merupakan  perhitungan  nilai  logaritma  dari  perbandingan  antar intensitas bunyi di suatu tempat yang diukur terhadap intensitas bunyi acuan sebesar  10-12Watt.  Rumus  perhitungan  tingkat  kebisingan  dengan menggunakan  intensitas  bunyi  lebih  sering  digunakan  untuk  menghitung tingkat kebisingan di dua tempat yang berbeda jaraknya dari sumber bunyi. Adapun rumus SIL, yakni:
SIL = 10 Log I/I0                        (1)
Keterangan:
SIL: Sound Intensity Level (dB)
I : Intensitas bunyi yang dicari IL-nya (W/m^2)
I0  : Intensitas bunyi acuan yang besarnya 10^-12Watt
2.  Tingkat Daya Bunyi/Sound Power Level (PWL)
     PWL merupakan perhitungan dari perbandingan antara daya suara (sound power) di sebuah tempat sampai ke penerima.Adapun persamaan PWL, yakni:
PWL = 10 Log W/W0                 (2)
PWL: Sound Power Level (dB)
W : daya bunyi (Watt)
W0  : daya bunyi acuan yang besarnya 10^-12Watt
3.  Tingkat Tekanan Bunyi/Sound Pressure Level (SPL)
       SPL merupakan nilai yang menunjukkan perubahan tekanan di dalam udara karena adanya perambatan  gelombang bunyi. Tingkat kebisingan dengan menggunakan tekanan bunyi sebagai acuan perhitungan disebut SPL. Adapun persamaan SPL, yakni:
SPL = 20 Log P/P0                      (3)
SPL: Sound Pressure Level (dB)
P : tekanan bunyi (Pascal atau Pa)
P0  : tekanan bunyi acuan yang besarnya 2.10^-5Pa
Mediastika  (2005)  mengemukakan  pembobotan  bunyi  dibedakan  menjadi empat yang didasarkan oleh respon telinga terhadap bunyi pada frekuensi tertentu dalam bobot tertentu sesuai kesan dan sensasi yang diterima oleh telinga, atau biasa dikenal dengan metode sound weighting, yakni:
1.  Bobot  A  atau  Desibel  A  adalah  skala  yang  diciptakan  pada  kondisi  telinga  kurang baik merespon bunyi-bunyi rendah sehingga telinga beradaptasi untuk mampu mendengar bunyi berfrekuensi rendah. Telinga tetap memiliki respon yang wajar dengan mengabaikan frekuensi di bawah 100 Hz atau identik dengan 40  phon  pada  frekuensi  1000  Hz.  Skala  ini  umumnya  memiliki  hasil pengukuran  sensasi  tingkat  kekerasan  yang  dirasakan  oleh  orang  pada umumnya sehingga skala ini sering digunakan sebagai pedoman pengukuran.
2.  Bobot B atau Desibel B adalah skala yang diciptakan pada kondisi telinga yang merespon  bunyi-bunyi  sedang  atau  hampir  identik  dengan  70  phon  pada frekuensi 1000 Hz.
3.  Bobot  C  atau  Desibel  C  adalah  skala  yang  diciptakan  ketika  telinga  seolah mendapat sensasi yang sama terhadap bunyi yang pada hampir semua frekuensi.
4.  Bobot D atau Desibel D adalah skala yang diciptakan untuk merespon bunyibunyi yang muncul dari kapal terbang pada frekuensi 2000-5000 Hz.

Sumber:

Comments