Membangun Persatuan Ummat Via Sholat


BAB I
PENDAHULUAN
            Setelah khilafah Islamiyah runtuh ummat Islam dipecah belah menjadi sekitar 50-an negara-negara nasionalis yang tidak terikat satu sama lain dengan  ikatan aqidah Islam. Sejak umat Islam kehilangan pelindung (khilafah), umat Islam selalu dihina, wilayahnya diduduki, adanya pertumpahan darah, kehormatannya wanita islam dilecehkan, dan agamanya dinistakan. Sudah 88 tahun umat Islam hidup tanpa naungan khilafah dan mengalami kondisi yang mengenaskan.
Kesatuan ummat merupakan suatu tuntutan yang amat penting, ini didasarkan pada nasab dari al-Quran dan as-Sunnah. Dengan kata lain Islam sangat melarang apa yang disebut perpecahan. Karena itu persoalan mengenai jamaah dan furqah (perpecahan) banyak sekali dikatakan dalam kitab-kitab Hadist seperti Sahih Bukhari dan Muslim. Ini memandangkan persoalan perpaduan dan perpecahan memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan ummat. Berikut salah satu Hadist tersebut.
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Sesiapa yang melihat sesuatu yang tidak disukai daripada pemerintahnya, maka hendaklah ia bersabar, kerana barang siapa yang mengambil langkah berpisah daripada jama’ah sekalipun sekadar sejengkal, kemudian dia mati, maka kematiannya itu seperti keadaan mati jahiliah”.(Riwayat Bukhari)
            Dalam al-Quran juga dengan jelas ditegaskan agar ummat islam tidak tercerai-berai tepatnya dalam Surat Al Imran ayat 103
واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا وَاذْ كـُرُو نِعْمَتَ الله عَلَيْكُمْ إٍذْكُنْتُمْ أَعْـدَاءً  فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ  فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنْتُمْ عَلىَ شَفاَ خُـفْرَةٍ  مِنَ النَّاِر فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلـَّكُمْ تَهْـتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”[Q. S. Ali Imran : 103]
            Ada berbagai cara yang bisa dilakukan untuk menyatukan ummat, diantaranya melalui penentuan awal bulan (Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah), shalat berjama’ah dan haji. Dari ketiga contoh tersebut yang paling mudah untuk dilaksanakan adalah melalui shalat berjama’ah. Namun seperti yang kita ketahui, saat ini kesadaran ummat untuk bersatu lewat shalat berjama’ah masih sangat kurang. Di sekitar kita saja, masih banyak Masjid-masjid yang sepi jama’ah saat tiba waktunya shalat berjama’ah.
            Dengan adanya makalah ini diharapkan kesadaran ummat untuk shalat berjama’ah dapat meningkat, sehingga persatuan dan perpaduan ummat dapat terus terjalin serta tidak ada perpecahan lagi.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Shalat
2.1.1 Pengertian Shalat
            Secara bahasa, shalat itu bermakna doa. Shalat dengan makna doa dicontohkan di dalam Al-Quran pada ayat berikut ini.
 خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan shalatlah (mendo'alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat (do'a) kamu itu merupakan ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. At-Taubah : 103)
Dalam ayat ini, makna shalat yang dimaksud bukan dalam makna syariat, melainkan dalam makna bahasanya secara asli yaitu berdoa. Adapun makna menurut syariah, shalat didefinisikan sebagai : “serangkaian ucapan dan gerakan yang tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sebagai sebuah ibadah ritual”. Shalat lima waktu merupakan rukun islam yang paling utama setelah dua kalimah syahadat. Dan wajib atas setiap muslim laki-laki maupun wanita dalam kondisi apapun, baik dalam keadaan aman, takut, dalam keadaan sehat dan sakit, dalam keadaan bermukim dan musafir untuk melaksanakan shalat
2.1.2 Perintah dan Hukum Shalat
            Perintah dan hukum shalat sangat jelas telah diterangkan dalam al-Quran, diantaranya:
a.       QS. An-Nisa': 103
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
b.      QS. Al-Bayyinah : 5
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“...Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
c.      QS. Al-Hajj : 78
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
d.     QS. Al-Baqarah : 43
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku.”
Dan masih banyak lagi perintah shalat di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan umat Islam melaksanakan shalat. Paling tidak tercatat ada 12 perintah dalam Al-Quran lafaz “aqiimush-shalata” (أقيموا الصلاة) yang bermakna "dirikanlah shalat" dengan fi`il Amr (kata perintah) dengan perintah kepada orang banyak (khithabul jam`i). Yaitu pada surat :


·         Al-Baqarah : 43, 83, dan 110
·         Surat An-Nisa : 177 dan 103
·         Surat Al-An`am : 72
·         Surat Yunus : 87
·         Surat Al-Hajj : 78
·         Surat An-Nuur : 56
·         Surat Luqman : 31
·         Surat Al-Mujadalah : 13
·         Surat Al-Muzzammil : 20


Serta 5 perintah shalat yang khithab-nya hanya kepada satu orang. Yaitu pada : Surat Huud : 114, Surat Al-Isra’ : 78, Surat Thaha : 14, Surat Al-Ankabut : 45, Surat Luqman : 17.
Di dalam sunnah Raulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ada banyak sekali perintah shalat sebagai dalil yang kuat dan qath`i tentang kewajiban shalat. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي عَبْدِالرَّحْمَنَ عَبْدِالله بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سمَِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ   يَقُوْلُ : بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خمَسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وِإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَحَجِّ البَيْتِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ  رواه البخاري و مسلم
“Dari Ibni Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Islam didirikan di atas lima hal. Sahadat bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, pelaksanaan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah bila mampu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
            Sedangkan dalam ijma’ seluruh umat Islam sejak zaman nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga hari ini telah bersepakat atas adanya kewajiban shalat lima waktu dalam agama Islam
Dengan adanya dalil dari al-Quran, as-sunnah dan ijma’ di atas, maka jelas bahwa shalat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Sehingga mengingkari kewajiban shalat termasuk keyakianan yang menyimpang dari ajaran Islam, bahkan bisa dikatakan kafir bila meninggalkan shalat dengan meyakini tidak adanya kewajiban shalat.


2.1.3 Keberagaman Riwayat Tatacara dan Bacaan Sholat dan Hikmahnya dalam Persatuan Ummat

Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban shalat wajib lima waktu atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena shalat termasuk salah satu rukun Islam. Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib. Syafi’i, Maliki dan Hambali : Harus dibunuh, Hanafi : ia aharus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat. Rukun-rukun dan fardhu-fardhu shalat : (Mughniyah; 2001)
1.      Niat : semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim berpendapat  dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali. (Mughniyah; 2001)
2.      Takbiratul Ihram : shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw : (Mughniyah; 2001)
Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain  perbuatan-perbuatan shalatadalah takbirdan penghalalnya adalah salam.”
·         Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya. 
·         Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lampada kata “Akbar”.
·         Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
·         Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001)
·         Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. (Mughniyah; 2001)
·         Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah; 2001)
3.      Berdiri : semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurutkesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.
·         Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.
·         Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya.
·         Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan  lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
4.      Bacaan : ulama mazhab berbeda pendapat.
·         Hanafi : membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 : (Mughniyah; 2001) ”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah). Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan aalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
·         Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah.Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
·         Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
·         Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya.
Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. (Mughniyah; 2001)
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001) ”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
5.      Ruku’ : semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. (Mughniyah; 2001)
·         Hanafi : yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah.
·         Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah; 2001)
·         Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001) Subhaana rabbiyal ’adziim  ”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung
·         Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001)Kalimatnya menurut Hambali : Subhaana rabbiyal ’adziimMaha Suci Tuhanku Yang Maha Agung
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). (Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. 
·         Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :Sami’allahuliman hamidahAllah mendengar orang yang memuji-Nya
6.      Sujud : semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
·         Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah. (Mughniyah; 2001)
·         Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001) Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. 
·         Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
7.      Tahiyyat : tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. (Mughniyah; 2001)
Hambali tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi : Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamuKehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuhKepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-NyaAssalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiinSemoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh
Asyhadu anlaa ilaaha illallahAku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluhDan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Menurut Maliki (Mughniyah; 2001) Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillahKehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi AllahAssalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-NyaAssalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiinSemoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang salehAsyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalahAku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-NyaWaasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluhDan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001) Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaahKehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuhSalam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-NyaAssalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiinSemoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang salehAsyhadu anlaa ilaaha illallahAku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain AllahWaasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluhDan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Menurut Hambali : (Mughniyah; 2001) Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikanAssalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuhSalam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-NyaAssalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang salehAsyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalahAku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-NyaWaasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluhDan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
Allahumma sholli ’alaa MuhammadYa Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad
8.      Mengucapkan salam (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126).  Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu : Assalaamu’alaikum warahmatullaahSemoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian
Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)
9.      Tertib : diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan daru sujud, begitu seterusnya. (Mughniyah; 2001)
10.     Berturut-turut : diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf. (Mughniyah; 2001)

Memang banyak terdapat perbedaan dalam tata cara sholat, tapi itu tidak seharusnya membuat umat Islam terpecah belah. Bahkan seharusnya itu menjadi pemersatu umat. Dalam Al Qur’an juga sedikit disinggung tentang perbedaan ini.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat – 13)

2.1.4 Hikmah Sholat dalam Melatih Kedisiplinan
Ibadah ritual dalam Islam sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dan kepribadian Muslimin. Sholat adalah salah satunya. Banyak efek positif sholat yang berguna untuk pengembangan kepribadian, salah satunya adalah kedisiplinan atau keteraturan.
Hikmah kedisiplinan dalam konsep sholat telah banyak dikemukakan oleh para pemikir dan ulama Islam. Sholat fardhu yang wajib dilaksanakan oleh seorang Muslim dalam sehari semalam ada lima kali. Waktunya pun sudah terjadwal dengan rapi.
“sesungguhnya sholat bagi orang-orang Mukmin adalah kewajiban yang waktunya ditentukan (terjadwal).” (QS An Niaa’:103).
Penentuan waktu sholat ini jelas menunjukan ajaran kedisiplinan yang berperan penting dalam kesuksesan seseorang.
Suatu ketika Abdullah bin Mas’ud  bertanya pada Rasulullah SAW: ” Wahai Rasulullah pekerjaan apakah yang paling Allah cintai?”, Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya”. Ia bertanya: “Lalu apalagi Ya Rasul?”, Beliau menjawab: “Taat pada orang tua”. Ia bertanya: “Lalu apalagi Ya Rasul?”, Beliau  menjawab: “Jihad di jalan Allah.”” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad, Dârul Quthni)
Hadist ini cukup menarik perhatian, selain perawinya yang banyak, kandungan hadist di atas pun layak untuk dicermati. Mengapa shalat tepat pada waktunya dapat menempati rating teratas dari sekian banyak pekerjaan yang sangat Allah cintai, ternyata ia dapat “menyisihkan” ketaatan pada orang tua dan jihad di jalan Allah.
Kita bisa melihat dan membaca kisah kesuksesan orang karena aktifitas yang mereka lakukan  setiap harinya terjadwal dengan baik. Orang yang jarang membuat jadwal kegiatan cenderung melalaikan suatu kegiatan yang seharusnya dikerjakan pada waktu itu. Konsep ini lah yang melatih kedisiplinan kita dengan sholat.
Selain itu, Kita juga bisa  mengambil pelajaran disiplin dari tata cara shalat. Mulai dari bersuci sampai pada pelaksanaan shalat, dan bahkan setelah shalat. Konsep tertib dalam aktivitas shalat mengajarkan kedisiplinan dan keteraturan. Seseorang tidak dibenarkan mendahulukan suatu rukun shalat yang seharusnya diakhirkan. Kalau dia tetap melakukannya, jelas shalatnya tidak sah secara syariah.


2.2    Shalat Jama’ah
2.2.1  Pengertian Shalat Jama’ah
Shalat berjama’ah merupakan syari’at islam yang sangat agung, menyerupai shafnya malaikat ketika mereka beribadah, dan ibarat pasukan dalam suatu peperangan, itulah yang menjadi salah satu factor terjalinnya rasa saling mencintai sesama muslim, saling mengenal, saling mengasihi, saling menyayangi, menampakkan kekuatan, dan kesatuan.
Allah mensyari'atkan bagi umat islam berkumpul pada waktu-waktu tertentu, di antaranya ada yang setiap satu hari satu malam seperti shalat lima waktu, ada yang satu kali dalam seminggu, seperti shalat jum’at, ada yang satu tahun dua kali di setiap Negara seperti dua hari raya, dan ada yang satu kali dalam setahun bagi umat islam keseluruhan seperti wukuf di arafah, ada pula yang dilakukan pada kondisi tertentu seperti shalat istisqa’ dan shalat kusuf.
2.2.2  Perintah dan Hukum Shalat Jama’ah
Shalat berjama`ah hukumnya wajib atas setiap muslim laki-laki, baik ia dalam keadaan menetap maupun dalam perjalanan, dalam keadaan aman maupun dalam keadaan genting. Berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah dan pendapat Ahlu Ilmi, dan disini kami akan memaparkan sebagiannya saja. Diantara dalil-dalil tersebut adalah :
a.         QS. An-Nisa :102
وَإذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أسْلِحَتَهُمْ فَإذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأسْلِحَتَهُمْ  
 “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.”
Setiap perintah yang ditujukan kepada Nabi merupakan perintah yang berlaku sekaligus kepada ummatnya selama tidak ada dalil yang menunjukan atas kekhususannya kepada Nabi saja. Ayat Al Qur’anul Karim ini menerangkan kepada kita akan hukum wajibnya shalat berjama’ah, dimana tidak ada rukhshah (dispensasi) kepada kaum muslimin untuk meninggalkannya di dalam keadaan khauf (yang mengkhawatirkan) sekali pun. Seandainya shalat berjama’ah ini hukumnya tidak wajib, sudah tentu lebih utama untuk ditinggalkan dengan adanya alasan (`udzur) khauf itu sendiri.
b.        QS. Al-Baqarah : 43
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku.”
Ayat Al Quranul Karim ini merupakan nash yang menunjukan hukum wajibnya shalat berjama’ah, dan sekaligus sebagai perintah untuk ikut mengambil bagian bersama dengan para jama’ah shalat lain di dalam mendirikan shalat berjama’ah. Di awal ayat, Allah memerintahkan untuk mendirikan shalat dan kemudian di akhir ayat yang berbunyi: “Warka`uu ma`ar raaki`iin” yang berarti ”ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’” ini dimaksudkan untuk melaksanakan shalat bersama orang-orang yang shalat, atau dengan kata lain melaksanakan shalat secara berjama’ah.
c.         Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda :
((وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أخَالِفَ إلَى رِجَالٍ فَأحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ )). متفق عليه.
((Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, rasanya aku ingin menyuruh mengumpulkan kayu bakar, dan kuperintahkan mengumandangkan adzan untuk mendirikan shalat, kemudian aku instruksikan seseorang untuk mengimami jama’ah shalat. Selanjutnya aku berbalik menuju orang-orang yang tidak shalat berjama’ah, lalu aku bakar mereka bersama rumah-rumah mereka.)) Muttafaqun ‘Alaih
d.        Dari Abu Hurairah r.a. katanya seorang laki-laki buta datang kepada Rasulullah s.a.w., lalu bertanya :
(( أتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أعْمَى فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إلَى الْمَسْجِدِ. فَسَألَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنْ يُرَخِّصَ لَهُ فِي بَيْتِهِ. فَرَخَّصَ لَهُ. فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ : هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ ؟ قَالَ : نَعَمْ. قَالَ فَأجِبْ  )). متفق عليه.
 ((“Ya Rasulullah, aku ini buta. Tidak ada orang yang akan menuntunku pergi ke masjid (untuk shalat berjama`ah). Lalu dia memohon kepada Rasulullah s.a.w. agar membolehkannya shalat di rumahnya. Mula-mula Rasulullah s.a.w. membolehkannya, tetapi setelah orang itu pergi belum begitu jauh, dia dipanggil kembali oleh Rasulullah s.a.w. seraya bertanya : “Apakah adzan dan shalat terdengar sampai kerumahmu ?”. Jawab orang buta itu : “Terdengar, ya Rasulullah !. Sabda Nabi saw : “Kalau begitu, penuhilah panggilan adzan tersebut !”.)) Muttafaqun `Alaih.
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang kewajiban shalat berjama’ah dan kewajiban untuk menegakkannya pada masjid-masjid yang didirikan atas dasar ketakwaan untuk meninggikan dan menyebut nama-Nya. Maka wajib atas setiap muslim untuk memelihara shalat berjama’ah ini, bersegera untuk merealisasikannya dan mewasiatkan kepada anak-anak, keluargan, tetangga, serta seluruh saudara-saudara muslim lainnya sebagai manifestasi dari perintah Allah dan Rasul-Nya dan dari peringatan terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dan merupakan suatu upaya menjauhkan diri dari segala penyerupaan tingkah laku orang-orang munafik, di mana Allah melukiskan diri mereka dengan sifat-sifat tercela, diantaranya bermalas-malsan dalam mendirikan shalat.
2.2.3  Keutamaan Shalat Jama’ah
a.         Pahala shalat berjama’ah lebih baik daripada pahala shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ((صَلاةُ الْجَمَاعَةِ أفْضَلُ مِنْ صَلاةِ الْفَرْدِ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَة)). متفق عليه.
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : ((Shalat berjama’ah lebih utama daripada shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.)) Muttafaqun ‘Alaihi.
b.        Setiap langkah yang diayunkan seorang muslim untuk menegakkan shalat berjama’ah terhitung disisi Allah sebagai pahala dan ganjaran baginya. Tidaklah setiap ayunan langkahnya melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapuskan satu dosa untuknya. Sebagaimana hadits yang terdapat di dalam shahihain.
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ   رضي الله عنه   قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((صَلاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أنَّهُ إذَا تَوَضَّأ فَأحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إلَى الْمَسْجِدِ لا يُخْرِجُهُ إلاّ الصَّلاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إلاّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلاّهُ تَقُوْلُ : اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، وَلا يَزَالُ أحَدُكُمْ فِي صَلاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاةَ)). واللفظ البخاري.
Dari Abu Hurairah r.a.berkata: Rasululah n bersabda:
((Pahala shalat seseorang yang berjamaah melebihi pahala shalat sendirian di rumahnya dan dipasarnya dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu apabila ia berwudhu’ dengan sebaik-baiknya, kemudian ia pergi menuju masjid, tidak ada tujuan lain kecuali untuk shalat berjama’ah maka tidaklah setiap langkah yang diayunkannya melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapuskan untuknya satu dosa, apabila ia melakukan shalat berjama’ah maka para malaikat senantiasa mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dan juga ia belum berhadats. Para Malaikat berdoa : “Allahumma shalli ‘alaihi, Allahummarhamhu (Ya Allah, Ampunilah dia dan rahmatilah).” Dan tetap ia dianggap shalat selama ia menunggu waktu shalat berikutnya tiba.)) Lafadz hadits Al Bukhari.
Siapa saja yang menunggu waktu shalat berikutnya tiba, di dalam masjid, akan memperoleh 4 (empat) keistimewaan yaitu :
1.    Ia seperti seorang yang selalu siap tempur di jalan Allah.
2.    Dicatat baginya pahala shalat meskipun ia menantikannya dalam keadaan duduk.
3.    Para malaikat memohonkan ampunan untuknya.
4.    Jika pada saat itu dia mengisi waktunya dengan membaca Al-Qur’an dan   zikrullah maka akan ditambahkan baginya pahala tilawah dan zikir.
c.         Seseorang yang selalu melaksanakan shalat berjama`ah dijamin terlepas dari sifat nifaq.
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ   رضي الله عنه   قَالَ ((مَنْ سَرَّهُ أنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إلاّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إلاّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ )). رواه مسلم.
Dari Ibnu Mas`ud   رضي الله عنه   berkata: ))Barangsiapa yang ingin bertemu dengan Allah kelak (dalam keadaan) sebagai seorang muslim, maka hendaklah dia memelihara shalat setiap kali ia mendengar panggilan shalat. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnanal huda (jalan-jalan petunjuk) dan sesungguhnya shalat berjama’ah merupakan bagian dari sunnanil huda. Apabila kamu shalat sendirian di rumahmu seperti kebiasaan shalat yang dilakukan oleh seorang mukhallif (yang meninggalkan shalat berjama’ah) ini, berarti kamu telah meninggalkan sunnah nabimu, apabila kamu telah meninggalkan sunnah nabimu, berarti kamu telah tersesat. Tiada seorang pun yang bersuci (berwudhu’) dengan sebaik-baiknya, kemudian dia pergi menuju salah satu masjid melainkan Allah mencatat baginya untuk setiap langkah yang diayunkannya satu kebajikan dan diangkat derajatnya satu tingkat dan dihapuskan baginya satu dosa. Sesungguhnya kami berpendapat, tiada seorang pun yang meninggalkan shalat berjama’ah melainkan seorang munafik yang jelas-jelas nifak. Dan sesungguhnya pada masa dahulu ada seorang pria yang datang untuk shalat berjama`ah dengan dipapah oleh dua orang laki-laki sampai ia didirikan di dalam barisan shaff shalat berjama’ah.)) H.R. Muslim.
d.        Orang yang shalat berjama`ah terbebas dari segala perangkap syaithan :
عَنْ أبِي الدَّرْدَاءِ   رضي الله عنه   قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ((مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلا بَدْوٍ لا تُقَامُ فِيهِ الصَّلاةُ إلاّ قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإنَّمَا يَأكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ)). رواه أبو داود والنسائي وإسناده جيد.
Dari Abu Darda  رضي الله عنه  berkata : Saya telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : ((Tidaklah dari tiga orang yang berada di sebuah perkampungan maupun sebuah dusun dan mereka tidak mendirikan shalat berjama`ah di dalamnya, melainkan syaithan telah menguasai diri mereka. Maka hendaklah atas kamu bersama jama`ah, sesungguhnya srigala hanya menerkam kambing yang terpisah dari kawannya.)) H.R. Abu Daud dan An-Nasa’i dengan sanad jayyid.
2.2.4  Ancaman tidak Shalat Jama’ah
Ancaman bagi orang-orang yang tidak melaksanakan shalat berjama’ah terdapat dalam hadist berikut ini:
عَنْ أبِي الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ((مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلا بَدْوٍ لا تُقَامُ فِيهِ الصَّلاةُ إلاّ قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإنَّمَا يَأكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ)). رواه أبو داود والنسائي وإسناده جيد.
Dari Abu Darda  رضي الله عنه  berkata : Saya telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : ((Tidaklah dari tiga orang yang berada di sebuah perkampungan maupun sebuah dusun dan mereka tidak mendirikan shalat berjama’ah di dalamnya, melainkan sesungguhnya syaithan telah menguasai diri mereka. Maka hendaklah kamu bersama jama`ah, sesungguhnya srigala hanya menerkam kambing yang terpisah dari kawanannya.)) H.R. Abu Daud dan An-Nasa`i dengan sanad jayyid.
2.2.5 Membangun Persatuan Ummat dengan Sholat Berjamaah
Shalat yang dilakukan dengan cara berjamaah juga lebih mudah untuk dapat diterima disisi Allah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anatuthalibin, dengan berjamaah kekurangan salah seorang peserta jamaah dapat disempurnakan dengan yang lain, sehingga seluruhnya dinilai menjadi shalat yang sempurna. Ibarat menjual buah jeruk, jika dijual satu persatu, tentu pembeli hanya akan memilih jeruk yang benar-benar bagus dan segar. Namun jika buah jeruk itu dijual dengan cara borongan, maka jeruk yang kurang bagus pun akan turut terbeli, demikian pula halnya dengan ibadah shalat kita.
Mengenai hal ini, Rasulullah Saw. dalam sabda Beliau mengibaratkan, bahwa harimau hanya akan memakan kambing yang jauh dari kawanannya, setan akan mudah merasuki orang yang terpisah dari jamaahnya, yang tidak melaksanakan shalat dengan berjamaah. Rasulullah Saw. bersabda:
مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِيْ قَرْيَةٍ أَوْ بَدْوٍ لاَ تُقَامُ فِيْهِمُ الْجَمَاعَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
Artinya: “Tidaklah di suatu desa atau sahara, tidak didirikan shalat berjamaah di antara mereka kecuali mereka akan dikuasai dan dikalahkan oleh setan. Maka dirikanlah shalat jamaah, karena sesungguhnya harimau akan memakan kambing yang jauh dari kawanannya.” (HR. Abu Dawud).
Selain itu, shalat berjamaah juga memiliki hikmah yang tidak sedikit bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Shalat berjamaah mengajarkan banyak hal penting bagi kehidupan sosial, tentang bagaimana mestinya seorang muslim bergaul dan menjalin hubungan dengan sesama dalam kehidupan ini.
Dapat kita lihat, dalam shalat berjamaah seluruh jamaah berdiri dalam barisan yang rapi di bawah komando satu pemimpin. Tidak diperkenankan bagi seorang makmum mendahului gerakan shalat sang imam. Ini menyimpan hikmah dan pelajaran untuk selalu menjaga persatuan umat dan selalu patuh kepada atasan, serta tidak melakukan pemberontakan atau pembangkangan.
Jika dalam pelaksanaan shalat imam melakukan suatu kesalahan, dianjurkan bagi makmum untuk mengingatkannya, yaitu dengan cara membaca tashbih bagi laki-laki, dan menepukkan tangan bagi perempuan. Secara konteks hal ini juga memberikan pelajaran tentang cara amar makruf dan nahi mungkar yang tepat, yakni mengingatkan dengan cara yang halus atau dengan sikap. Bukan dengan kekerasan dan tindak anarkis.
Kepatuhan seseorang terhadap pemimpin merupakan manifestasi dari perintah Allah. Dalam al Quran Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa`: 59).
Dari sisi yang lain, dapat kita lihat bagaimana shalat berjamaah mengajarkan persamaan derajat antar sesama. Yang miskin bisa berdampingan dengan yang kaya, seorang presiden bisa berdampingan dengan seorang buruh dalam satu barisan shalat. Ini merupakan suatu gambaran nyata bahwa di mata Allah, semua manusia itu sama, derajat maupun pangkat yang mereka peroleh di dunia ini tidak ada artinya di sisi Allah. Hanya keimanan dan ketakwaan yang membuat manusia bisa mulia dan dekat di sisi Allah. Allah Swt berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Shalat berjamaah juga memiliki peran yang sangat penting bagi persatuan dan kesatuan, serta kerukunan hidup bermasyarakat. Sebab, dengan selalu melaksanakan shalat berjamaah di masjid, seorang muslim bisa lebih sering bertemu dengan saudara seiman, berbincang, dan bercengkrama. Hingga keakraban dan rasa saling mencintai antar mereka dapat tumbuh subur dan bersemi. Dengan begitu, mereka juga bisa saling belajar satu sama lain dan saling mengingatkan bila ada yang salah di antara mereka. Karena seorang muslim adalah cermin bagi muslim yang lain, sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda:
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ أَخِيْهِ إِذَا رَأَى فِيْهَا عَيْبًا أَصْلَحَهُ
Artinya: “Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Ketika ia melihat kekurangan pada cermin itu, maka benahilah.” (HR. Bukhari).
Bahkan, seorang ulama berkata, persatuan dan kesatuan penduduk suatu daerah dapat dilihat dari pelaksanaan shalat jamaah di daerah tersebut. Jika shalat berjamaah bisa terlaksana dengan baik dan sesuai dengan tatacaranya, dengan barisan yang rapat dan lurus, dapat dipastikan persatuan penduduknya juga baik. Sebaliknya, jika jamaah di daerah tersebut kurang maksimal, tentu persatuan penduduk tersebut mudah terpecah belah.

2.2.6  Kesempurnaan Shalat Jama’ah
           Di antara syari’at yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat berjamaah. Namun saat ini, kaum muslim mulai lalai melaksanakan sunnah untuk  merapatkan dan meluruskan shaf. Karena sesungguhnya, barangsiapa yang melaksanakan syari’at, petunjuk dan ajaran-ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam meluruskan dan merapatkan shaf, sungguh dia telah menunjukkan ittiba’ nya (mengikuti) dan hakikat kecintaannya kepada beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
           Shalat berjamaah merupakan amal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam . Sebagaimana sabdanya, “Shalat berjamaah lebih afdhal dari shalat sendirian dua puluh derajat”. Dan dalam shalat berjama’ah juga disunnahkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf (barisan), sebagaimana di dalam sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْإقَامة الصلاة
 “Luruskan shafmu, karena sesungguhnya meluruskan shaf itu merupakan bagian dari kesempurnaan shalat”. (Muttafaq ‘Alaih).
           Shof yang tidak baik (tidak rapat dan rapi) akan memberikan setan peluang untuk mengganggu di tengah-tengah shof yang tidak sempurna. Akibatnya hati akan mudah dicerai-beraikan dan mudah berselisih.

2.2.5  Hikmah dan Manfaat Shalat Jama’ah
a.         Terbebas dari perangkap syaithan dengan segala kejahatannya, dan dengan demikian  ia telah masuk ke dalam jama’ah muslimin sehingga syaithan menghindar darinya, sedangkan orang yang meninggalkan shalat berjama’ah, berarti ia telah ditundukkan oleh syaithan.
b.        Ta’awun ‘alal biri wa taqwa (tolong menolong dalam kebajikan dan takwa) serta amar ma’ruf dan nahi mungkar.  Hal ini terlihat pada saat implementasinya, dimana kaum muslimin bersama-sama berdiri dihadapan Allah di dalam barisan (shaff) yang teratur  dengan dipimpin oleh seorang imam, ibarat sebuah bangunan yang kokoh sehingga mencerminkan kekuatan dan persatuan kaum muslimin.
c.         Terhimpunnya suara kaum muslimin  menjadi satu, hati-hati mereka berpadu, saling mengindentifikasi satu sama lainnya sehingga tergalang rasa solidaritas diantara mereka.
d.        Terlahir rasa kelembutan dan kasih sayang sesama muslim, menghilangkan sifat kesombongan dan besar diri serta dapat mempererat ikatan persaudaran seagama (ukhuwah islamiyah) maka terjadilah interaksi langsung antara kalangan tua dengan yang muda dan antara orang kaya dan yang miskin.
e.         Mendapat banyak pelajaran keimanan dari shalat berjama’ah ini, anda dapat mendengarkan langsung alunan ayat-ayat Al Qur’an yang mengetarkan hati.
f.         Syaithan menjauh darinya dikarenakan lari ketika mendengar suara azan.
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ   رضي الله عنه   أنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ((إذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ أدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أقْبَلَ حَتَّى إذَا ثُوِّبَ بِالصَّلاةِ أدْبَرَ حَتَّى إذَا قَضَى التَّثْوِيبَ أقْبَلَ حَتَّى يَخْطِرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ لا يَدْرِي كَمْ صَلَّى )). رواه البخاري.
Dari Abu Hurairah r.a.bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : ((Ketika diserukan azan untuk shalat, maka larilah syaithan sampai terkentut-kentut, sehingga tidak terdengar lagi olehnya suara aan tersebut. Apabila azan telah selesai dikumandangkan, dia datang lagi. Kemudian jika terdengar suara qomat, dia pergi lagi. Ketika qomat selesai dikumandangkan, dia datang lagi hendak menggoda orang yang shalat. Katanya : “Ingatlah ini, ingatlah itu”, mengingatkan apa-apa yang tadinya ia tidak ingat sama sekali, sehingga ia lupa telah berapa rakaat dia shalat.)) H.R. Bukhari.

g.        Terbebas dari sifat nifak dan dari kesalah pahaman orang lain terhadap dirinya yang mengira bahwa ia telah meninggalkan shalat yang pokok.

2.3 Membangun Sholat Khusyu’
Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan bahwa Khusyu' adalah: "Ketenangan, tuma'ninah, pelan-pelan, ketetapan hati, tawadhu', serta merasa takut dan selalu merasa diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla."

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa Khusyu' adalah: "Menghadapnya hati di hadapan Robb ‘Azza wa Jalla dengan sikap tunduk dan rendah diri." (Madarijusslikin 1/520 )

Definisi lain dari khusyu' dalam shalat adalah: "Hadirnya hati di hadapan Allah Subhânahu wa Ta'âla, sambil mengkonsertasikan hati agar dekat kepada Allah Subhânahu wa Ta'âla, dengan demikian akan membuat hati tenang, tenangnya gerakan-gerakannya, beradab di hadapan Robbnya, konsentrasi terhadap apa yang dia katakan dan yang dilakukan dalam shalat dari awal sampai akhir, jauh dari was-was syaithan dan pemikiran yang jelek, dan ia merupakan ruh shalat. Shalat yang tidak ada kekhusyukan adalah shalat yang tidak ada ruhnya." (Tafsir Taisir Karimirrahman, oleh Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa'di)

Untuk mencapai hal-hal yang akan mendatangkan kekhusyukan ada beberapa kiat yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, diantaranya:

a. Mempersiapkan diri sepenuhnya untuk shalat
Adapun bentuk-bentuk persiapannya yaitu: ikut menjawab azan yang dikumandangkan oleh muazin, kemudian diikuti dengan membaca do'a yang disyariatkan, bersiwak karena hal ini akan membersihkan mulut dan menyegarkannya, kemudian memakai pakaian yang baik dan bersih, sebagaimana firman Allah Ta'âla: "Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makanlah dan minumlah. Jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan." (QS. al-A'raaf: 31)

Diantara bentuk persiapan lain adalah berjalan ke masjid dengan penuh ketenangan dan tidak tergesa-gesa, lalu setelah sampai di depan masjid, maka masuk dengan membaca do'a dan keluar darinya juga membaca do'a, melaksanakan shalat sunnat Tahiyyatul masjid ketika telah berada di dalam masjid, merapatkan dan meluruskan shaf, karena syetan berupaya untuk mencari celah untuk ditempatinya dalam barisan shaf shalat. Dengan melakukan bentuk persiapan tersebut maka Insya Allah akan membantu dalam kekhusyukan.

b. Tuma'ninah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selalu tuma'ninah dalam shalatnya, sehingga seluruh anggota badannya menempati posisi semula, bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang yang buruk shalatnya supaya melakukan tuma'ninah sebagaimana sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Tidak sempurna shalat salah seorang diantara kalian, kecuali dengannya (tuma'ninah)."

Bahkan di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyamakan orang yang tidak tuima'ninah tersebut dengan orang yang mencuri dalam shalatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah radhiyallahu 'anhu: "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seburuk-buruk pencurian yang dilakukan manusia adalah orang yang mencuri shalatnya." Qatadah berkata: "Ya Rasulullah, bagaimana seseorang tersebut di katakan mencuri shalatnya? Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ia tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya." (HR. Ahmad dan al-Hakim 1/229)
Orang yang tidak tuma'ninah dalam shalatnya, tentu tidak akan merasakan kekhusyukan, sebab menunaikan shalat dengan cepat akan menghilangkan kekhusyukan, sedangkan shalat seperti mematuk burung, maka hal itu akan menghilangkan pahala.
Oleh karena itulah karena pentingnya tuma'ninah, maka wajib bagi seorang muslim untuk tuma'ninah dalam shalatnya sehingga shalatnya diterima oleh Allah Ta'âla.

c. Mengingat mati ketika shalat
Hal ini berdasarkan wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Apabila engkau shalat maka shalatlah seperti orang yang hendak berpisah (mati)". (HR. Ahmad V/412, Shahihul Jami', no. 742)
Jelaslah bahwasanya hal ini akan mendorong setiap orang untuk bersungguh-sungguh dalam shalatnya, karena orang yang akan berpisah tentu akan merasa kehilangan dan tidak akan berjumpa kembali, sehingga akan muncul upaya dari dalam dirinya untuk bersungguh-sungguh, dan hal ini seolah-olah baginya merupakan kesempatan terakhir untuk shalat.

d. Menghayati makna bacaan shalat
Al-Qurân diturunkan agar direnungkan dan dihayati maknanya, sebagaimana firman-Nya ‘Azza wa Jalla: "Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad: 29)
Sikap penghayatan tidak akan terwujud kecuali dengan memahami makna swetiap yang kita baca. Dengan memahami maknanya, maka seseorang akan dapat menghayati dan berfikir tentangnya, sehingga mengucurlah air matanya, karena pengaruh makna yang mendalam sampai ke lubuk hatinya. Dalam hal ini Allah Subhânahu wa Ta'âla berfirman: "Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Robb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang yang tuli dan buta". (QS. al-Furqan: 73)
Di dalam ayat yang mulia ini Allah Subhânahu wa Ta'âla menjelaskan betapa pentingnya memperhatikan makna dari ayat yang dibaca. al-Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata: "Sesungguhnya saya sangat heran kepada orang yang membaca al-Qurân, sementara dia tidak mengetahui maknanya. Bagaimana mungkin dia akan mendapatkan kelezatan ketika dia membacanya? (Muqaddimah Tafsir at-Thobari karya Muhammad Syakir)

e. Membaca surat sambil berhenti pada tiap ayat
Hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ummu Salamah radhiyallahu 'anha tentang bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam membaca al-fatihah, yaitu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Basmalah, kemudian berhenti, kemudian membaca ayat berikutnya lalu berhenti. Demikian seterusnya sampai selesai (HR. Abu Daud, no. 4001)

f. Membaca al-Qurân dengan tartil
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhânahu wa Ta'âla: "Dan bacalah al-Qurân dengan perlahan-lahan". (QS. al-Muzammil: 4)
Dan diriwayatkan dengan shahih bahwa bacaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah perlahan-lahan serta satu huruf-satu huruf (Musnad Ahmad 6/294 dengan sanad shahih, Shifatus sholah: 105)
Membaca dengan perlahan dan tartil lebih bisa membantu untuk merenungi ayat-ayat yang dibaca dan mendatangkan kekhusyu'an. Adapun membaca dengan ketergesa-gesaan akan menjauhkan hati dari kekhusyukan.



g. Meletakkan sutrah.(tabir pembatas) dan mendekatkan diri kepadanya
Hal ini lebih bertujuan untuk memperpendek dan menjaga penglihatan orang yang sedang melaksankan Shalat, sekaligus menjaga dirinya dari syetan. Disamping itu juga dapat menjauhkan diri dari lalu lalangnya orang yang lewat di sekitar kita, karena lewatnya orang lain secara hilir mudik dapat mengganggu kekhusyukan shalat.
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika salah seorang diantara kalian melaksanakan Shalat dengan menggunakan tabir, maka hendaklah ia mendekat padanya, sehingga syetan tidak akan memotong Shalatnya".(HR. Abu Daud, no. 446/1695)
Adapun jarak antara seseorang dengan tabir (sutrah) adalah tiga kali panjang lengan, dan antara tabir dengan tempat sujudnya adalah, seluas tempat lewatnya seekor kambing, sebagaimana yang banyak disebut dalam hadits-hadits shahih. (lihat Fathul Bari 1/574-579)

h. Melihat kearah tempat sujud
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu 'anha: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika sedang shalat, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menundukkan kepala serta mengarahkan pandangannya ke tanah (tempat sujud)". (HR. al-Hakim 1/479, dia berkata shahih menurut syarat Bukhari
dan Muslim, disepakati juga oleh al-Albani dalam buku shifatus Shalatin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal 89)
Dari sini jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Shalat melihat ke arah tempat sujud dan tidak memejamkan matanya, maka orang yang memejamkan matanya berarti amalannya bertentangan dengan sunnah.




BAB III
PENUTUP
Selepas masa khalifah islam terus dijajah dan dianiaya oleh kaum kafir, akan tetapi orang islam saat ini tidak bisa bersatu dan terus berselisih satu dengan yang lain. Kita mudah diprovokasi dan di adu domba oleh orang-orang kafir dan perpecahanpun tidak bisa kita hindari. Karena itu saat ini sangat diperlukan usaha-usaha untuk mempersatukan umat muslim.
Salah satu usaha yang paling memungkinkan dilaksanakan dan dapat dilakukan secara kontinu  adalah melalui shalat berjama’ah. Banyak hikmah, keutamaan, dan manfaat yang bisa didapatkan dari shalat berjamaah. Salah satunya bisa menjadi pemersatu ummat, yang mana kesatuan ummat ini sangat diidam-idamkan oleh seluruh kaum muslimin di seluruh dunia, sehingga kita dapat mengembalikan kejayaan islam. Karena dengan shalat berjama’ah ini akan timbul rasa kasih sayang antar ummat, dan dijauhkan oleh Allah dari pertikaian dan perpecahan, sehingga persatuan ummat pasti bisa tercapai. 


















DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abu Abdil Aziz, Translator: Rendusara, Muh. Khairuddin, Editor: Ziyad, Eko Haryanto Abu. 2010. “Keutamaan Shalat Berjamaah”. (Online) (http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_books/single/id_Keutamaan_Shalat_Berjamaah.doc)
Al-Buthy, Muhammad Sa'id Ramadhan. “Kitab Fiqhu 's-Sirrah” tentang  “perbedaan pendapat (khilafiyah, ikhtilaf) di kalangan umat Islam”
Djamaluddin, Thomas. 2011. “Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat”. (Online) (http://tdjamaluddin.files.wordpress.com/2011/08/astronomi-memberi-solusi-penyatuan-ummat-lengkap.pdf)
Ghifarie, Ibn. 2009. “Haji dan Penyatuan Umat Manusia”. (Online) (http://www.pewarta-indonesia.com/inspirasi/rohani/2570-haji-dan-penyatuan-umat-manusia.pdf)
Katsir, Ibnu. 2000. “Tafsir Ibnu Katsir”. Sinar Baru Algensindo: Bandung
Nashir as-Sa'di, Abdurrahman. Tafsir Taisir Karimirrahman.
Wibowo, Heri Yulias. (Tanpa Tahun). “Mempersatukan Ummat Islam”. Dalam Bulletin An-Nashihah. Bekasi (Online) (http://masbadar.files.wordpress.com/2009/07/mempersatukan-ummat-islam.pdf)
Zahidi, Wan. 2013. “Manhaj Islam Dalam Memelihara Perpaduan Ummah” (Online) (http://www.muftiwp.gov.my/v1/doc/MANHAJ_ISLAM_DALAM_MEMELIHARA_PERPADUAN_UMMAH.pdf)



Comments