Karakteristik Tanah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Salah satu komponen penting dalam kehidupan adalah tanah. Tanah dapat mendukung kehidupan tumbuhan dalam penyediaan hara dan air serta sebagai penopang akar. Selain itu tanah juga dapat berpengaruh dalam kuantitas resapan air dan pemilihan jenis pondasi bangunan. Tanah merupakan gejala alam permukaan daratan, membentuk suatu mintakat (zone) yang disebut pedosfer, tersusun atas masa galir (loose) berupa pecahan dan lapukan batuan (rock) bercampur dengan bahan organik (Notohadiprawiro, 2006).
Selain memiliki pengaruh yang positif dalam kehidupan, tanah juga dapat menimbulkan bebeberapa masalah diantaranya terangkatnya tiang pancang pada proyek dan terjadinya genangan air akibat daya resap tanah terhadap air rendah. permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tata kelola tanah yang rendah, human error, dan jenis tanah. Tanah terdiri dari beberapa jenis yaitu tanah lempung, pasir dan lanau. Antara jenis tanah satu dengan yang lain memiliki sifat dan karakter yang berbeda. Sifat dan karakteristik tanah dapat berupa sifat fisik, kimia, dan biologi yang dapat diamati pada bagian terkecil tanah.
Sifat dan karakteristik tanah yang diketahui maka dapat dilakukan penekanan resiko permasalah yang muncul terkait tanah, seperti terjadinya kerusakan struktur dan mengatasi terjadinya genangan air. Berdasarkan permasalahan yang ada, maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang sifat dan karakteristik tanah, seperti pada tanah pasir dan tanah lanau. Penelitian mengenai sifat dan karakteristik tanah dapat dilakukan dengan mengukur parameter-parameter yang berhubungan dengan tanah. Parameter yang berhubungan dengan tanah anatara lain, yaitu: plastisitas, pH, suhu, ukuran, dan kadar air kadar air.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam praktikum karakteristik tanah adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah karakteristik tanah pasir dan lanau di Universitas Airlangga berdasarkan analisa ayakan secara dry method?
2.      Bagaimanakah  besarnya nilai pH, suhu, plastisitas tanah, dan kadar air pada jenis tanah pasir dan lanau di Universitas Airlangga?
3.      Apa sajakah manfaat tanah pasir dan lanau di Universitas Airlangga dalam bidang teknologi lingkungan?

1.2    Tujuan
 Tujuan dari praktikum karakteristik tanah adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui karakteristik tanah pasir dan lanau di Universitas Airlangga berdasarkan analisa ayakan secara dry method.
2.      Mengetahui besarnya nilai pH, suhu, plastisitas tanah, dan kadar air pada jenis tanah pasir dan lanau di Universitas Airlangga.
3.      Mengetahui manfaat pasir dan lanau yang terdapat di Universiras Airlangga dalam bidang teknologi lingkungan.

1.3    Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam praktikum karakteristik tanah adalah menambah ilmu pengetahuan mahasiswa Ilmu dan Teknologi Lingkungan Universitas Airlangga mengenai sifat dan karakteristik tanah pasir dan lanau serta aplikasinya dalam bidang teknologi lingkungan.











BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah
       Tanah merupakan kumpulan dari bagian-bagian yang padat dan tidak terikat antara satu dengan yang lain, diantaranya mungkin material organik rongga-rongga diantara material tersebut berisi udara dan air (Verhoef, 1994). Tanah juga merupakan timpunan mineral, bahan organik, dan endapan-endapan yang relatif lepas (loose), yang terletak di atas batuan dasar (bedrock). Pembentukan tanah dari batuan induknya dapat berupa proses fisik yang mengubah batuan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil terjadi akibat pengaruh erosi, angin, air, es, manusia, atau hancurnya partikel tanah akibat perubahan suhu atau cuaca. Pelapukan tanah akibat reaksi kimia menghasilkan susunan kelompok partikel berukuran koloid dengan diameter butiran lebih kecil dari 0,002 mm, yang disebut mineral lempung (Hardiyatmo, 2001).
       Tekstur dan struktur tanah adalah ciri fisik tanah yang sangat berhubungan. Kedua faktor ini dijadikan parameter kesuburan tanah karena menentukan kemampuan tanah tersebut dalam menyediakan unsur hara. Tanah bertekstur kasar memiliki kemampuan yang kecil sekali dalam menyimpan dan menyediakan unsur hara, sebaliknya tanah yang mengandung liat yang cukup atau  lebih akan mampu menyimpan dan menyediakan unsur hara. Tanah bertekstur liat berpasir dan lempung berliat tergolong tekstur yang baik untuk kelapa sawit (Tambunan, 2008).
       Tekstur tanah berhubungan erat dengan plastisitas, permeabilitas, kekerasan, kemudahan olah, kesuburan, dan produktivitas tanah pada daerah-daerah geografis tertentu. Terjadinya peningkatan sejumlah liat didalam sub-soil ternyata dapat meningkatkan persediaan air dan unsur hara pada zona tersebut. Porositas tanah tinggi jika bahan organik tinggi. Tanah-tanah dengan sistem granuler atau remah mempunyai porositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah dengan struktur pejal (massive). Tanah dengan tekstur pasir banyak mempunyai pori-pori makro sehingga sulit menahan air. Kerapatan lindak (Bulk density) menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume total (padat dan pori-pori). Dengan demikian kerapatan lindak selalu lebih kecil dibandingkan dengan kerapatan partikel (Particle density) (Tambunan, 2008).
       Kerapatan lindak dipengaruhi oleh struktur tanah seperti kelonggaran tanah atau kepadatan tanah akibat dari sifat mengembang dan mengerut yang dipengaruhi oleh kadar liat dan kelembaban. Bahkan pada tanah yang ekstrim padat kerapatan lindak masih lebih kecil dari kerapatan partikel, karena partikel tanah tidak dapat terikat sempurna (Tambunan, 2008).

2.2 Klasifikasi Tanah
       Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda-beda tetapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok- kelompok berdasarkan pemakaiannya. Sistem klasifikasi memberikan suatu bahasa yang mudah untuk menjelaskan secara singkat sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan yang terinci (Das, dkk., 1995). Terdapat beberapa sistem klasifikasi tanah, diantaranya yaitu sistem klasifikasi tanah menggunakan American Association of State Highway and Transportation Official (AASHTO) dan sistem klasifikasi tanah berdasarkan Unified Soil Classification System (USCS).
2.2.1 Sistem Klasifikasi AASHTO
          Sistem Klasifikasi American Association of State Highway and Transportation Official (AASHTO) dikembangkan pada tahun 1929 mengalami beberapa kali revisi hingga tahun 1945 digunakan sampai  sekarang,  yang  diajukan  oleh  Commite  on  Classification  of Material for Subgrade and Granular Type Road of the Highway Research Board (ASTM Standar No. D-3282, AASHTO model M145). Sistem klasifikasi ini bertujuan untuk menentukan kualitas tanah guna pekerjaan jalan yaitu lapis dasar (sub-base) dan tanah dasar (sub-grade). Sistem ini didasarkan pada kriteria sebagai berikut:
a.  Ukuran butir
Kerikil adalah  bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 75 mm dan tertahan pada saringan diameter 2 mm (No. 10). Pasir adalah bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 2 mm dan tertahan pada saringan diameter 0,075 mm (No. 200).
Lanau & lempung adalah bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 0,075 mm (No.200).
b.  Plastisitas
Nama “berlanau” dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastisitas (IP) sebesar 10 atau kurang. Sedangkan, nama “lanau” dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastisitas tanah sebesar 11 atau lebih.
c.  Apabila  ditemukan  batuan  (ukuran  lebih  besar  dari  75  mm)  dalam contoh tanah yang akan diuji maka batuan-batuan tersebut harus dikeluarka terlebih   dahulu,   tetapi   persentase dari batuan tersebut harus dicatat.
Sistem klasifikasi AASTHO membagi tanah ke dalam 7 kelompok utama yaitu A-1 sampai dengan A-7. Tanah berbutir yang 35 % atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos ayakan No. 200 diklasifikasikan ke dalam kelompok A-1, A-2, dan A-3. Tanah berbutir yang lebih dari 35 % butiran  tanah  tersebut  lolos  ayakan  No.200  diklasifikasikan  ke  dalam kelompok A-4, A-5, A-6, dan A-7. Butiran dalam kelompok A-4 sampai dengan A-7 tersebut sebagian besar adalah lanau dan lempung.
2.2.2 Sistem Klasifikasi Tanah USCS
Sistem klasifikasi tanah unified atau Unified Soil Classification System (USCS) diajukan pertama kali oleh Casagrande dan selanjutnya dikembangkan oleh United State Bureau of Reclamation (USBR) dan United State Army Corps of Engineer (USACE). Kemudian American Society  for  Testing  and  Materials  (ASTM)  memakai  USCS  sebagai metode standar untuk mengklasifikasikan tanah. Dalam bentuk sekarang, sistem ini banyak digunakan dalam berbagai pekerjaan geoteknik. Sistem klasifikasi USCS mengklasifikasikan tanah ke dalam dua kategori utama yaitu:
a. Tanah berbutir kasar (coarse-grained soil), yaitu tanah kerikil dan pasir yang kurang dari 50% berat total contoh tanah lolos saringan No. 200. Simbol untuk kelompok ini adalah G untuk tanah berkerikil dan S untuk tanah berpasir. Selain itu juga dinyatakan gradasi tanah dengan  simbol  W  untuk tanah  bergradasi  baik  dan  P  untuk  tanah bergradasi buruk.
b. Tanah berbutir halus (fine-grained soil), yaitu tanah yang lebih dari 50% berat total contoh tanahnya lolos dari saringan No. 200. Simbol kelompok ini adalah C untuk lempung anorganik dan O untuk lanau organik. Simbol Pt digunakan untuk gambut (peat) dan tanah dengan kandungan organik tinggi. Plastisitas dinyatakan dengan L untuk plastisitas rendah dan H untuk plastisitas tinggi.
          Pembagian tanah kedalam kelompok-kelompok dalam system USCS dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Bowles, 1991)

Jenis Tanah

Prefiks

Sub Kelompok

Sufiks
·                           Kerikil




·                           Pasir

·           Lempung Anorganik
·           Lempung Organik
·                           Gambut
G


S

C

O

Pt
Gradasi baik Gradasi buruk Berlanau Berlempung
wL < 50 %

wL > 50 %
W P
M C



L

H


Tabel 2.2 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Sistem Unified (Hardiyatmo, 1992)

Divisi Utama
Simbol
Nama Umum

Kriteria Klasifikasi
Tanah berbutir kasar ≥ 50% butiran
Tertahan saringan No. 200
Kerikil 0% ≥ fraksi kasar
Tertahan saringan No. 4
Kerikil bersih (hanya kerikil)
GW
Kerikil bergradasi-baik dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Klasifikasi berdasarkan prosentase butiran halus : Kurang dari 5% lolos saringan No. 200: GM, GP, SW, SP. Lebih dari 12% lolos saringan No. 200 : GM, GC, SM, SC. 5% - 12% lolos saringan No. 200 : Batasan klasifikasi yang mempunyai simbol dobel.
Cu = D60 > 4

D10

Cc =  antara 1 dan 3
GP
Kerikil bergradasi-buruk dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk GW
Kerikil dengan butiran halus
GM
Kerikil berlanau, campuran kerikil-pasir-lanau
Batas-batas Atterberg di bawah garis A
Bila batas Atterberg berada di daerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel symbol
GC
Kerikil berlempung, campuran kerikil-pasir-lempung
Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI > 7
Pasir ≥ 50% fraksi kasar
Pasir bersih (hanya pasir)
SW
Pasir bergradasi-baik, pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Cu = D60 > 4

D10

Cc =  antara 1 dan 3
SP
Pasir bergradasi-buruk, pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk SW
Pasir dengan butiran halus
SM
Pasir berlanau, campuran pasir-lanau
Batas-batas Atterberg di bawah garis A
Bila batas Atterberg berada di daerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel symbol
2.3 Jenis Tanah
2.3.1 Tanah Lempung
          Tanah Lempung atau lanau merupakan tanah dengan ukuran tanah lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam jumlah lebih dari 50% yang berasal dari pelapukan unsur-unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering, dan tak mudah terkelupas hanya dengan jari tangan (Bowles, 1991).
          Sifat-sifat  yang  dimiliki  dari  tanah  lempung  diantarana yaitu ukuran butiran halus lebih kecil dari 0,002 mm, permeabilitas rendah, kenaikan air kapiler tinggi, bersifat sangat kohesif, kadar kembang susut yang tinggi dan proses konsolidasi lambat. Adanya pengetahuan mengenai mineral tanah  tersebut menyebabkan pemahaman  mengenai  perilaku  tanah  lempung dapat diamati (Hardiyatmo, 2001). Dalam klasifikasi tanah secara umum, partikel tanah lempung memiliki diameter 2 µm atau sekitar 0,002 mm (USDA, AASHTO, USCS). Namun demikian, dibeberapa kasus partikel berukuran antara 0,002 mm hingga berukuran antara 0,002 mm sampai 0,005 mm masih digolongkan sebagai partikel lempung (ASTM-D-653). Disini tanah diklasifikasikan sebagai lempung hanya berdasarkan ukuran saja, namun belum tentu tanah dengan ukuran partikel lempung tersebut juga mengandung mineral- mineral lempung.         Jadi, dari segi mineral tanah dapat juga disebut sebagai tanah bukan lempung (non clay soil) meskipun terdiri dari partikel-partikel yang sangat kecil (partikel-partikel quartz, feldspar, mika dapat berukuran sub mikroskopis tetapi umumnya tidak bersifat plastis). Partikel-partikel dari mineral lempung umumnya berukuran koloid, merupakan gugusan kristal berukuran mikro, yaitu < 1µm (2 µm merupakan batas atasnya). Tanah lempung merupakan hasil proses pelapukan mineral batuan induknya yang salah satu penyebabnya adalah air yang mengandung asam atau alkali, oksigen, dan karbondioksida (Bowles, 1991).
2.3.2 Tanah Pasir
Tanah  pasir  merupakan  tanah  muda  (baru)  yang  dalam  klasifikasi FAO termasuk dalam ordo Regosol (Brady, 1974), sedangkan menurut klasifikasi  USDA  tanah  di daerah  pantai termasuk  ordo Entisol  atau lebih dikenal dengan nama Entisol pantai.
Sifat fisik dari tanah pasir adalah:
a. Struktur tanah pasir
Menurut AAK (1993) tanah berpasir memiliki struktur butir tunggal,  yaitu  campuran  butir-butir  primer  yang  besar  tanpa  adanya bahan pengikat agregat. Ukuran butir-butir pasir adalah 0,002 mm - 2,0 mm.
b. Tekstur Tanah Pasir
Tekstur tanah pasir adalah kasar, karena tanah pasir mengandung lebih  dari  60%  pasir  dan  memiliki  kandungan  liat  kurang  dari  2% (AAK, 1993). Partikel-partikel pasir mempunyai ukuran yang lebih besar dan luas permukaan yang kecil dibandingkan fraksi debu dan liat. Oleh karena itu, tidak banyak berfungsi dalam mengatur  kimia tanah tetapi lebih sebagai penyokong tanah dimana sekitarnya terdapat partikel debu dan liat yang aktif (Hakim Nurhajati, 1986).
c. Porositas Tanah Pasir         
Porositas tanah pasir bisa mencapai lebih dari 50% dengan jumlah pori-pori mikro, maka bersifat mudah merembeskan air dan gerakan udara di dalam  tanah menjadi lebih lancar. Kohesi dan konsistensi (ketahanan terhadap proses pemisahan) pasir sangat kecil sehingga mudah terkikis oleh air atau angin. Dengan demikian, media pasir lebih membutuhkan pengairan dan pemupukan yang lebih intensif (AAK, 1993).
d. Temperatur Tanah Pasir
Tanah pasir memiliki temperatur yang tinggi yang disebabkan karena kemampuan tanah menyerap panas yang tinggi. Tanah pasir memiliki kemampuan yang rendah dalam menahan lengas karena sifat tanayang porus sehingga  sempitnya  kisaran kandungan  air tersedia yang terletak di antara kapasitas lapangan dan titik layu permanen yang berkisar 4 - 70% (dibandingkan pada tanah lempung berkisar 16 -29%, serta tingginya kecepatan infiltrasi 2,5-25 cm/jam (dibandingkan 0,001- 0,1 cm/jam pada tanah lempung) (Baver, 1972).

2.4 Batas-Batas Atterberg
            Batas kadar air yang mengakibatkan perubahan kondisi dan bentuk tanah dikenal pula sebagai batas-batas konsistensi atau batas-batas Atterberg (yang mana diambil dari nama peneliti pertamanya yaitu Atterberg pada tahun (1911). Pada kebanyakan tanah di alam berada dalam kondisi plastis. Kadar air yang terkandung dalam tanah berbeda-beda pada setiap kondisi tersebut  yang  mana  bergantung  pada  interaksi  antara  partikel  mineral lempung. Bila kandungan air berkurang maka ketebalan lapisan kation akan berkurang pula yang mengakibatkan bertambahnya gaya-gaya tarik antara partikel-partikel. Sedangkan jika kadar airnya sangat tinggi, campuran tanah dan air akan menjadi sangat lembek seperti cairan. Oleh karena itu, atas dasar air yang dikandung tanah, tanah dapat dibedakan ke dalam empat (4) keadaan dasar, yaitu padat (solid), semi padat (semi solid), plastis (plastic), dan cair (liquid).
Adapun yang termasuk ke dalam batas-batas Atterberg antara lain:
1. Batas Cair (Liquid Limit)
Batas cair (LL) adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis.
2. Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas plastis (PL) adalah kadar air pada kedudukan antara daerah plastis dan semi padat, yaitu persentase kadar air dimana tanayang di buat menyerupai lidi-lidi sampai dengan diameter silinder 3 mm mulai retak- retak, putus atau terpisah ketika digulung.
3. Batas Susut (Shrinkage Limit)
Batas  susut  (SL)  adalah  kadar  air  yang  didefinisikan  pada  derajat kejenuhan 100%, dimana untuk nilai-nilai dibawahnya tidak akan terdapat perubahan volume tanah apabila dikeringkan terus. Harus diketahui bahwa batas susut makin kecil maka tanah akan lebih mudah mengalami perubahan volume.
4. Indeks Plastisitas (Plasticity Index)
Indeks plastisitas (PI) adalah selisih antara batas cair dan batas plastis. Indeks plastisitas merupakan interval kadar air tanah yang masih bersifat plastis.

2.5 Plastisitas Tanah
Plastisitas adalah perbedaan batas cair dan batas plastisitas suatu tanah atau sering disingkat dengan PI (Plastisity Index). Plastisitas tanah dipengaruhi oleh batas cair dan batas plastik. Batas cair disebut juga sebagai liquid limit didefinisikan kondisi dimana tanah diaduk dengan air yang lebih banyak dari pada bagian tanahnya. Bila tanah diaduk dengan air, dengan air lebih banyak dari pada bagian tanahnya, maka sebagian dari bubur ini dapat dialirkan ke bagian lainnya. Tetapi bila air dari bubur tanah ini diuapkan, maka pada suatu saat bubur ini akan berhenti mengalir. Kadar air pada keadaan ini disebut batas cair (LL) yang kira-kira sama dengan gaya menahan air dan merupakan jumlah tertinggi air yang bermanfaat bagi tanaman (Soedarmono dan Djojoprawiro, 1988)
       Batas plastis didefinisikan menurut Das, dkk. (1995), sebagai kadar air (%), dimana tanah apabila digulung sampai dengan diameter 1/8 inchi (3mm) menjadi retak-retak. Batas ini merupakan batas terendah dari keplastisitasan suatu tanah. Sedangkan menurut Hardjowigeno (1995), batas plastis merupakan kadar air dimana gulungan tanah mulai tidak dapat digolek-golekkan lagi. Bila digolek-golekkan tanah akan pecah-pecah ke segala jurusan. Kriteria batas cair serta indeks plastisitas tanah berdasarkan harkat Atterberg dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut:
Tabel 2.3 Kriteria Batas Cair serta Indeks Plastisitas Tanah Berdasarkan Harkat    Atterberg (Sarief, 2001).
Kriteria
Batas Cair (%)
Indeks Plastisitas (%)
Sangat Rendah
<20
0 – 5
Rendah
20 – 30
5 – 10
Sedang
31 – 45
10 – 17
Tinggi
46 – 70
17 – 30
Sangat Tinggi
71 – 100
30 – 45
Ekstrim Tinggi
-
> 43

Semakin tinggi nilai PI suatu tanah lempung, maka  akan  semakin  bersifat  expansif,  artinya sangat mudah terpengaruh oleh kadar  air.  Dengan  demikian,  tanah  akan  sangat  mengembang jika kadar air tinggi (jenuh air) dan  akan  sangat  menyusut  jika  kadar  air  rendah  (kering).  Jenis  tanah  expansif  ini sangat tidak menguntungkan bagi konstruksi  terutama  pada  konstruksi  jalan  sehingga perlu  diganti  dengan  urugan  pilihan  yang lebih  stabil  terhadap  perubahan  kadar  air  atau yang PI-nya rendah (Hardjowigeno, 1995).

2.6 Pengukuran pH dan Suhu Tanah
       Keasaman (pH) tanah diukur dengan nisbah tanah : air adalah 1 : 2,5 (10 g tanah dilarutkan dengan 25 ml air) dan ditulis dengan pH 2,5 (H2O). Pengukuran pH tanah di lapangan dengan prinsip kalorimeter menggunakan indikator (larutan, kertas pH) yang menunjukkan warna tertentu pada pH yang berbeda. Saat ini sudah banyak dibuat pH-meter jinjing (portable) yang dapat dibawa ke lapangan. Di samping itu, ada beberapa tipe pH-meter yang dilengkapi dengan elektroda yang secara langsung dapat digunakan untuk mengukur tanah, tetapi dengan syarat kandungan lengas pada saat pengukuran cukup tinggi (kandungan lengas maksimum atau mungkin kelewat jenuh). Kesalahan pengukuran dapat terjadi antara 0,1 – 0,5 unit pH atau bahkan lebih besar karena pengaruh pengenceran dan faktor-faktor lain (Handayani, 2003). Klasifikasi pH tanah berdasarkan Soil Survey Manual USDA terdapat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Klasifikasi pH menurut Soil Survey Manual (USDA, 1985)
Tanah
pH (H2O)
Tanah
pH (H2O)
Luar biasa asam
>4,5
Netral
6,6 – 7,3
Asam sangat kuat
4,5 – 5,0
Agak basis
7,4 – 7,8
Asam kuat
5,1 – 5,5
Basis sedang
7,9 – 8,4
Asam sedang
5,6 – 6,0
Basis kuat
8,5 – 9,0
Agak asam
6,1 – 6,5
Basis sangat kuat
>9,0


2.7 Kegunaan Tanah
       Disamping komponen iklim, topografi, bahan induk, dan organisme, tanah merupakan komponen lahan yang sangat penting untuk keperluan penggunaan lahan tertentu khususnya di bidang konstruksi bangunan. Penggunaan lahan permanen seperti gedung/bangunan memerlukan masukan teknologi dan biaya investasi tinggi sehingga memerlukan perencanaan yang baik. Perencanaan dilakukan berdasarkan analisis awal yaitu analisis kesesuaian lahan untuk konstruksi bangunan. Dalam analisis kesesuaian lahan ini hanya mempertimbangkan faktor fisik tanah dan tidak mempertimbangkan aspek di luar lahan seperti aspek sosial/kependudukan, ekonomi, hukum, lingkungan, infrastrukstur dan ketercapaian (accessibility). Pertimbangan faktor fisik tanah berdasarkan pada kecocokan sebuah konstruksi bangunan/gedung tiga lantai terhadap daya dukung tanah sebagai pondasinya (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
       Semakin baik tingkat kesesuaian suatu lahan untuk konstruksi bangunan, maka biaya yang dibutuhkan relatif lebih rendah, begitu pula sebaliknya. Daya dukung tanah sebagai pondasi bangunan/gedung meliputi kerapatan (density), bahaya banjir, plastisitas, tekstur dan potensi kembang kerut tanah (nilai COLE). Sedangkan daya dukung finansial terkait pada aspek biaya penyiapan lahan dan penggalian tanah untuk pondasi bangunan. Daya dukung ini meliputi tata air tanah, lereng, kedalaman batuan dan keadaan batuan permukaan. Analisis kesesuaian lahan untuk konstruksi bangunan bertujuan untuk mengetahui tingkat kecocokan daerah penelitian untuk penggunaan lahan secara permanen yaitu gedung/bangunan maksimal tiga lantai (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
  
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1    Tempat dan Waktu
3.1.1    Tempat
Pengambilan sampel pasir dilaksanakan di belakang lapangan voli Fakultas Sains dan Teknologi dan pengambilan sampel lanau di belakang Airlangga University Press (AUP). Analisis kadar air dan batas plastis tanah dilakukan di ruang 121 Laboratorium.

Comments