Makalah Rusaknya Sumber Daya Hutan akibat Penebangan Liar (Illegal logging)


Rusaknya Sumber Daya Hutan akibat Penebangan Liar (Illegal logging)
Oleh : Faisol Hezim
Program Studi: Ilmu dan Teknologi Lingkungan
NIM : 081211131057

PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang dianugerahi wilayah yang begitu subur dan kaya akan sumber daya alam dari Sabang sampai Marauke. Keanekaragaman hayati di wilayah Indonesia merupakan yang paling beragam di dunia. Indonesia merupakan Negara terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire dalam hal kandungan Hutan hujan tropis (Tropical Rain Forrest). Kekayaan tersebut seharusnya dapat menjadikan bangsa Indonesia menjadi negara yang makmur dan sejahtera. Namun, sangat disayangkan, Indonesia tidak mampu dalam mengelola sumber daya alam tersebut secara efektif dan efisien sehingga Indonesia masih menjadi bangsa yang terpuruk di dunia. Salah satu contoh ketidakefektifan dan ketidakefisienan negara kita dalam mengelola sumber daya alam tercermin dalam ketidakbecusan pemerintah dalam menangani pembalakan liar (Illegal logging) yang semakin menjadi-jadi dan merugikan negara kita tidak hanya secara ekonomi tetapi juga ekologis.

Hutan merupakan paru paru bumi tempat berbagai macam binatang dan tumbuhan hidup, tempat hasil tambang, dan berbagai macam sumber daya lainnya yang berasal dari hutan yang tidak ternilai harganya bagi manusia. Hutan juga merupakan tempat sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi manusia. Manfaatnya dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung. Adapun contoh contoh manfaat hutan secara langsung seperti sumber oksigen bagi bumi, tempat binatang hidup, penyediaan kayu, tempat menampung air dan hasil tambang. Manfaat hutan secara tidak langsung seperti untuk tempat rekreasi, pencegahan erosi, tempat perlindungan binatang ataupun tumbuhan yang hampir punah.

Namun Sejak akhir1990-an, sumber daya hutan negeri ini telah dijarah, sementara pemerintah seolah jadi penonton di pinggiran. Keuntungan besar diraup oleh segelintir cukong kayu yang berpengaruh, tanpa dapat disentuh oleh tangan hukum di Indonesia. Selama para otak kejahatan ini masih bebas berkeliaran menjalankan aksinya, krisis Illegal logging di Indonesia akan terus berlanjut. Memang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melakukan tindakan terpuji untuk mengurangi Illegal logging dan penyelundupan kayu sehingga tingkat ekspor kayu illegal negara kita ke negara lain, seperti Malaysia dan Cina, berkurang secara cukup signifikan. Namun demikian, dampak penegakan hukum ini tetap saja dangkal meski bisa jadi pengaruhnya cukup luas. Kebanyakan yang ditangkap dalam operasi penegakan hukum ini adalah pekerja bawahan dalam rantai produksi kayu illegal, yaitu para penebang kayu di hutan, supir truk dan nakhoda kapal pengangkut kayu curian.Sementara para cukong kelas atas tetap bebas, dan aparat militer dan polisi yang melindunginya juga tidak pernah terjangkau hukum.


ISI
Illegal logging atau penebangan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Secara praktek, Illegal logging dilakukan terhadap areal hutan yang secara prinsip dilarang. Di samping itu, praktek Illegal logging dapat pula terjadi selama pengangkutan, termasuk proses ekpor dengan memberikan informasi salah ke bea cukai, sampai sebelum kayu dijual di pasar legal. Penggundulan hutan dari waktu ke waktu menjunjukkan trend yang terus meningkat dan mengakibatkan hutan-hutan di pulau-pulau besar Indonesia, seperti Pulau Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Jawa, dan Sulawesi, mengalami proses deforestasi yang sangat cepat. Banyak faktor yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya Illegal logging di Indonesia, baik faktor yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Akar dari semua faktor tersebut adalah praktek korupsi yang sudah terstruktur dalam birokrasi-birokrasi pemerintah.

Faktor-faktor tersebut diantaranya, pertama, tingginya permintaan kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam konteks demikian dapat terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu mencukupi tingginya permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri/konsumsi lokal. Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal logging). Ketimpangan antara persediaan dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktek Illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi.

Kedua, tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan perundang-undangan tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu konsesi hutan, yaitu 20 tahun dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan produksi yangditetapkan 35 tahun. Hal demikian menyebabkan pemegang HPH tidak menaati ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga akibat Illegal logging.

Ketiga, lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana Illegal logging.Selama ini, praktekIllegal logging dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di mana penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Sedangkan untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Bahkan beberapa pihak menyatakan bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama Illegal logging, melainkan hanya menangkap pelaku lapangan. Di samping itu, disinyalir adanya pejabat pemerintah yang korup yang justru memiliki peran penting dalam melegalisasi praktek Illegal logging.

Keempat, tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hak Pegusahaan Hutan selama ini berada di bawah wewenang pemerintah pusat, tetapi di sisi lain, sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan, pemerintah daerah harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan daerahnya secara mandiri. Kondisi ini menyebabkan pemerintah daerah melirik untuk mengeksplorasi berbagai potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis yang tersedia di daerahnya, termasuk potensi ekonomis hutan. Dalam kontek inilah terjadi tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat menguasai kewenangan pemberian HPH, di sisi lain pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan untuk mengeksplorasi kekayaan alam daerahnya, termasuk hutan- guna memenuhi kebutuhan daerahnya. Tumpang tindih kebijakan ini telah mendorong eksploitasi sumber daya alam kehutanan. Tekanan hidup yang dialami masyarakat daerah yang tinggal di dalam dan sekitar hutan mendorong mereka untuk menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal.

Dari berbagai penyebab tersebut dipastikan akan menyebabkan dampak yang buruk terhadap Indonesia sendiri. Secara kasat mata akan menyebabkan kerusakan ekosistem yang ada dalam hutan tersebut. Rusaknya ekosistem hutan ini berdampak pada menurunnya atau bahkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyimpan air, pengendali air yang dapat mencegah banjir juga tanah longsor. Sehingga rentan terhadap bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Di samping itu, Illegal logging juga menghilangkan keanekaragaman hayati, berkurangnya kualitas dan kuantitas ekosistem dan biodiversitas, dan bahkan Illegal logging dapat berperan dalam kepunahan satwa alam hutan Indonesia. Dari sisi ekonomis, Illegal logging telah menyebabkan hilangnya devisa negara. Menurut Walhi, hasil Illegal logging di Indonesia pertahunnya mencapai 67 juta meter kubik dengan nilai kerugian sebesar Rp 4 triliun bagi negara. Di samping itu, data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1998 hingga 2004, kerugian Indonesia akibat Illegal logging mencapai 180 triliun.


PENUTUP
Terdapat beberapa alternatif cara untuk menanggulangi atau paling tidak meminimalisir praktek Illegal logging. Pertama, telah diungkapkan sebelumnya bahwa praktek Illegal logging disebabkan oleh meningkatnya permintaan kayu di pasar internasional, dan sebagian besar kayu yang dipasarkan di dunia internasional adalah kayu hasil Illegal logging. Hal ini berarti bahwa Illegal logging turut melibatkan dunia internasional. Dengan demikian penanggulangan Illegal logging harus dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan dunia internasional, seperti yang telah dilakukan Indonesia dengan Inggris lewat penandatanganan nota kesepahaman Forest Law Enforcement and Governance (FLEG). Hal terpenting dalam nota kesepemahaman tersebut adalah pemenuhan standar legalitas (keabsahan) kayu yang diperdagangkan. Keabsahan kayu harus dilihat, baik oleh hukum negara maupun hukum adat di mana kayu tersebut tumbuh.

Kedua, terkait dengan lemahnya penegakan dan pengawasan hukum, disinyalir karena UU Kehutanan dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama Illegal logging, melainkan hanya menangkap pelaku lapangan. Oleh karena itu, tindak pidana Illegal logging ini harus dibentuk dalam undang-undang sendiri tentang Illegal logging.Alasannya, selain karena UU Kehutanan dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama Illegal logging, juga karena tindak pidana Illegal logging dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Selain merugikan keuangan negara, Illegal logging juga setidaknya memiliki empat tindak pidana, yaitu: perusakan lingkungan, korupsi, pencucian uang, dan pelanggaran kepabeanan. Sehingga penanganannya pun harus luar biasa, termasuk memasukkan Illegal logging dalam undang-undang khusus di luar UU Kehutanan.

Ketiga, terkait dengan tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menyangkut kehutanan. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, managemen hubungan pusat daerah harus dikelola dengan baik, sehingga terjadi sinkronisasi fungsi antara pusat dan daerah. Harus dipahami bahwa dalam konsep otonomi, daerah memiliki wewenang dominan di daerahnya dibanding pusat, maka harus ditegaskan bahwa kebijakan yang menyangkut daerah, termasuk kebijakan dalam rangka kekayaan daerah (termasuk di dalamnya hutan), harus berada di tangan daerah dalam batas-batas tertentu kewenangan. Di samping itu, harus dibentuk suatu mekanisme pengawasan pelaksanaan kebijakan daerah, sehingga daerah tidak absolut dalam menentukan kebijakannya, sehingga prinsip check and balance terjadi antara pusat dan daerah. Misalnya, kewenangan pemberian HPH berada pada pemerintah daerah, tetapi setiap pemberian HPH oleh pemerintah daerah kepada pemilik modal harus dilaporkan kepada pusat, sehingga pusat dapat mengawasi pelaksanaan HPH tersebut.

Keempat, penanggulangan Illegal logging dengan pendekatan ekonomi, yaitu dengan menjalin kerjasama dengan Bank Indonesia (BI) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sinergi dengan ketiga institusi tersebut untuk menanggulangi Illegal logging dilakukan dengan pelacakan terhadap uang hasil Illegal logging. Dari sisi legal, BI telah mensyaratkan prinsip Know Your Customer, yang mengharuskan perbankan mengenali nasabahnya. Jika ada transaksi di atas Rp. 100 juta sehari, nasabah harus menjelaskan asal-usul uang. Juga ada Undang-Undang No. 5 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang memungkinkan menjerat Illegal logging sebagai tindak pidana.

Dengan demikian, pendekatan anti-money laundering regime untuk menekan laju Illegal logging dapat diterapkan. Kemudian, PPATK bisa memulai membuat peraturan yang mewajibkan lembaga penyedia jasa keuangan (bank, pasar modal, asuransi, dan money changer) membuat laporan rutin tentang transaksi-transaksi yang dicurigai. Langkah ini harus diikuti dengan penerbitan pedoman bagaimana perbankan bisa mengenali transaksi hasil Illegal logging. Pada tahap awal, langkah ini akan terbantu bila PPATK membuat semacam risk profile: high risk country, location, dan customer, High risk country menunjukkan negara-negara yang berpotensi tinggi melakukan tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian, terhadap negara-negara tersebut diterapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan transaksi. High risk location menunjukkan daerah-daerah di Indonesia yang kerap kali menjadi daerah keluar masuk kayu illegal. High risk customer menunjukkan identitas-identitas nasabah yang acap kali bertindak sebagai penyokong tindak pidana Illegal logging.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. “Illegal logging,” Penyebab dan Dampaknya, (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0309/ 16/opini/563606.htm), Diakses 12 Desember 2013.

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999 Pasal 7 ayat (1) tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1971 Pasal 10 ayat (2) tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan.


Comments