BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Provinsi
Gorontalo merupakan daerah yang masih bisa di sebut daerah baru. Provinsi
Gorontalo juga masih dalam proses pengembangan daerah. Tetapi dengan adanya
pengembangan daerah tidak merubah existensi dari adat istiadat maupun tradisi
yang sudah lama dimiliki oleh daerah Gorontalo.
Salah satu
tradisi yang dimiliki oleh daerah Gorontalo adalah tradisi pasang lampu atau
yang biasa disebut tumbilotohe. Tradisi
ini dimulai pada hari ke-27 malam ramadhan yang diadakan setiap tahunnya. Setiap
rumah dan jalanan akan diramaikan oleh lampu-lampu yang sebagian besar adalah
lampu botol. Alasan penulis mengambil tradisi ini sebagai pembahasan, karena
tradisi tumbilotohe merupakan tradisi
yang hanya dimiliki oleh daerah Gorontalo, tradisi seperti ini tidak akan
ditemukan di daerah manapun di Indonesia kecuali di Provinsi Gorontalo.
Tumbilotohe juga sering mengalami
saat-saat dimana perayaannnya tiap tahun tidak begitu ramai. Hal ini mungkin
disebabkan oleh naiknya harga minyak tanah yang menjadi salah satu bahan dari
lampu botol untuk perayaan tumbilotohe,
dan mengakibatkan rakyat Gorontalo tidak terlalu banyak memasang lampu botol
saat tumbilotohe. Hal ini sangatlah
disayangkan karena tumbilotohe merupakan
tradisi yang dapat diajdikan wisata untuk daerah Gorontalo dan perlu untuk di
lestarikan.
1.2. Rumusan Masalah
2. Bagaimana antusias rakyat
Gorontalo dalam merayakan tradisi tumbilotohe
?
3. Bagaimana suasana daerah
Gorontalo saat perayaan tumbilotohe ?
1.3. Tujuan penelitian
2. Mengetahui sejarah
terjadinya tradisi tumbilotohe di
daerah Gorontalo.
3. Agar dapat mengetahui
wisata religi dan keunikan dari tradisi tumbilotohe
di daerah Gorontalo.
4. Dapat menjelaskan suasana
dan keadaan rakyat Gorontalo pada saat merayakan tradisi tumbilotohe di daerah Gorontalo
1.4. Manfaat Penelitian
Dari penulisan
karya ilmiah ini penulis berharap agar dapat menjadikan tradisi yang ada di
Gorontalo khususnya tradisi tumbilotohe dapat
menjadi wisata yang menarik sehingga menarik wisatawan dari luar daerah
Gorontalo dan akan meningkatkan pendapatan daerah Gorontalo. Penulis juga
berharap agar tradisi tumbilotohe ini
dapat dilestarikan selalu, karena tradisi ini hanya dapat dijumpai di daerah
Gorontalo.
BAB II
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
2.1.
Tradisi Tumbilotohe
Tumbilotohe berasal dari kata tumbiloyang berarti pasang dan tohe berarti lampu. Maka tumbilotohe berarti acara pasang lampu.
Lampu-lampu minyak biasanya dipasang di atas sebuah kerangka kayu yang
berhiaskan janur kuning. Buah pisang yang melambangkan kesejahteraan dan tebu
sebagai lambang kemuliaan turut dipasang pada kerangka tersebut. Tradisi tumbilotohe ini
merupakan tradisi tahunan dan juga tanda sebagai hampir berakhirnya bulan
ramadhan. Tradisi ini biasa dilaksanakan pada malam ke-27 bulan suci ramadhan
atau 3 malam terakhir menjelang Hari Raya Idul FItri. Pemasangan lampu yang
dimulai dari maghrib hingga menjelang subuh ini konon sudah berlangsung sejak
abad XV, dan digunakan untuk menerangi jalan menuju mesjid. Pada abad ini
diyakini penerangan dari daerah Gorontalo masih sangatlah kurang.
Pada masa itu lampu penerangan masih terbuat dari wamuta atau seludang yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar. Alat penerangan ini di sebut wango–wango. Tahun-tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan tohetutu atau damar yaitu semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar. Berkembang lagi dengan memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa, dengan menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan pepaya yang dipotong dua, dan disebut padamala.
Seiring dengan perkembangan zaman, bahan dan alat yang digunakan untuk merayakan tradisi tumbilotohe telah diganti dengan botol kecil dan diisi dengan minyak tanah, lalu memakai sumbu kompor. Lampu botol seperti ini terus dipakai sampai sekarang ini. Lalu mengalami perkembangan lagi, bahkan perayaan tumbilotohe selain diramaikan dengan lampu-lampu botol, tetapi juga rakyat sudah mulai menggunakan lampu listrik dengan aneka warna untuk lebih menyemarakkan tradisi ini.
“Tumbilotohe, pateya tohe… ta mohile jakati bubohe lo
popatii…”. yang memiliki arti “Tumbilotohe,
matikan lampu… orang minta zakat dipukul dengan pacul…”. Kalimat pantun ini mungkin terdengar kasar, tetapi
pantun ini hanyalah pantun yang biasa di lantunkan oleh anak-anak pada saat
tradisi pemasangan lampu dimulai. Budaya turun temurun ini menjadi ajang
hiburan masyarakat Gorontalo.
BAB III
TEMUAN DAN ANALISA DATA
3.1.
Perayaan
Tradisi Tumbilotohe
Tradisi tumbilotohe adalah
tradisi yang sudah membudaya di daerah Gorontalo, setiap tahun di akhir bulan
Ramadhan stiap malamnya selalu dirayakan. Tradisi menyalakan lampu minyak tanah pada penghujung Ramadhan di Gorontalo, sangat diyakini kental dengan
nilai agama. Dalam setiap perayaan tradisi ini, masyarakat secara sukarela
menyalakan lampu dan menyediakan minyak tanah sendiri tanpa subsidi dari
pemerintah. Hal ini merupakan sesuatu yang patut dibanggakan dari masyarakat
Gorontalo.
Namun, seringkali juga perayaan tradisi ini mengalami saat-saat dimana
perayaannya tidak begitu ramai akan lampu-lampu yang menghiasi dibandingkan
dengan perayaan tumbilotohe ditahun-tahun
sebelumnya yang dilaksanakan di daerah Gorontalo. Hal ini sangatlah disayangkan
dan perlu untuk mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah Gorontalo.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinyaperayaan tumbilotohe tidak begitu ramai mungkin disebabkan oleh kenaikan harga minyak tanah yang menjadi salah satu bahan dari lampu botol yang menjadi ciri khas dari tradisi tumbilotohe itu sendiri. Dengan keterbatasan masyarakat akan minyak tanah tersebut, membuat pemasangan lampu-lampu botol yang ada di tiap daerah menjadi berkurang. Tetapi, ada segelintir masyarakat yang tetap merayakan dan memasang lampu botol tersebut. Hal ini merupakan antusias masyarakat Gorontalo untuk tetap melestarikan tradisi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Antusiasme masyarakat inilah yang menjadikan tradisi ini tetap terjaga dan selalu ada di daerah Gorontalo.
Dengan demikian tradisi tumbilotohe yang telah membudaya di masyarakat Gorontalo telah menjadi kekayaan budaya yang juga memiliki daya tarik sebagai wisata di Gorontalo.
3.2.
Suasana Tradisi
Tumbilotohe
Tumbilotohe merupakan acara tahunan di daerah Gorontalo
yang paling meriah, tradisi ini selalu menjadi acara yang selalu di tunggu oleh
masyarkat Gorontalo. Tradisi ini bisa dibilang merupakan festival yang paling
ramai di Gorontalo. Jika malam tumbilotohe
telah dimulai, banyak masyarakat yang keluar dan menikmati pemandangan
lampu botol di desa maupun daerah kota Gorontalo. Malam tumbilotohe benar-benar ramai, apalagi jika ada perlombaan antar
desa atau kecamatan, desa atau kecamatan-kecamatan tersebut berbondong-bondong
memasang lampu botol dengan semeriah mungkin.
Tanah lapang yang luas dan daerah persawahan di buat berbagai
formasi dari lentera membentuk gambar masjid, kitab suci Alquran, dan kaligrafi
yang sangat indah dan mempesona. Kreasi-kreasi masyarakat setempat diukir
dengan bambu dan digantungkan lampu botol, sehingga pada saat lampu botol
dinyalakan, akan terlihat lampu botol tersebut terukir kaligrafi ataupun
tulisan ucapan, biasanya tulisan ucapan yang terlihat adalah ucapan selamat
hari raya Idul Fitri. Tumbilotohe tidak
hanya terbatas pada tanah, tetapi ada juga yang memasang lampu botolnya di
daerah sungai, sehingga sepanjang sungai akan terlihat indah dan terang.
Saat tradisi tumbilotohe
di gelar, wilayah Gorontalo jadi terang benderang, nyaris tak ada sudut kota
yang gelap. Gemerlap lentera tradisi tumbilo tohe yang digantung pada kerangka-kerangka
kayu yang dihiasi dengan janur kuning atau dikenal dengan nama alikusu (hiasan yang terbuat dari daun kelapa muda)
menghiasi kota Gorontalo. Di atas
kerangka di gantung sejumlah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan tebu
sebagai lambang keramahan dan kemuliaan hati menyambut Hari Raya Idul Fitri.
3.3. Keunikan Tradisi Tumbilotohe
Pada saat perayaan
tradisi tumbilotohe, ada banyak hal
lainnya yang meramaikan perayaan tradisi ini. Hal-hal ini yang menambahkan
keunikan dari tumbilotohe ini. Yang
pertama yaitu, saat dimana anak-anak sampai segelintir orang tua membunyikan bunggo atau biasa dikenal dengan sebutan
meriam tradisional. Meriam tradisional ini dahulunya hingga sekarang sering
digunakan untuk membangunkan sahur di saat bulan Ramadhan, tetapi pada saat
tradisi tumbilotohe berlangsung,
meriam tradisional ini menjadi ajang perlombaan bagi yang memiliki suara meriam
terkeras. Bunggo ini merupakan meriam
bambu yang diisi minyak tanah, dan memilik lubang kecil di atas bambu tersebut
untuk menyulut lalu menghasilkan bunyi seperti meriam.
Yang kedua adalah festival bedug, dimana setiap mesjid atau tempat-tempat tertentu menyiapkan bedug dan memukul bedug tersebut sedemikian rupa hingga mengahsilkan bunyi yang indah didengar.
Yang ketiga adalah
penataan lampu-lampu botol di lahan yang luas, lampu-lampu botol dihias dan
ditata seindah mungkin dan membuat tulisan dari bambu dan digantungkan lampu
botol sehingga lahan tersebut terlihat indah. Jika ada foto udara, daerah
Gorontalo akan terlhat terang bercahaya dari atas.
3.4. Respon Warga Indonesia Terhadap Tradisi Tumbilotohe
Tumbilotohe merupakan salah satu kekayaan budaya di Gorontalo yang
pantas dikembangkan. Oleh karena itu, tradisi
tumbilotohe terus dilestarikan
oleh warga Gorontalo hingga saat
ini. Banyak potensi yang dimiliki tumbilotohe, salah satunya bisa
menyedot kunjungan wisata ke daerah Gorontalo, karena tradisi tumbilotohe tidak
dijumpai di daerah manapun di wilayah NKRI. Walaupun daerah-daerah tetangga
Provinsi Gorontalo pun turut
melaksanakannya seperti daerah bagian utara (Bolmut) yang dikenal dengan nama Maninjulo Lambu dan selatan (Bolsel) yang dikenal
dengan nama Sumpilo Soga, tapi semaraknya
tidak merata seperti yang ada di provinsi Gorontalo.
Tradisi unik ini menimbulkan daya tarik tersendiri yang mengundang
orang-orang dari daerah lain datang berkunjung untuk menyaksikan langsung acara
tambilotohe tersebut. Rata-rata masyarakat yang datang berkunjung berasal dari
kota tetangga seperti Manado, Palu, dan Makassar.
Perayaan tumbilotohe ini masuk Museum Rekor
Indonesia (MURI), karena sebanyak 5.000.000 (lima juta) lampu menyemarakkan
perayaan tradisi tumbilotohe tersebut.
Tradisi ini pula mendapat respon dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisara
Republik Indondesia (Kemenbudpar RI). Kemenbudpar memberikan dukungan penuh
terhadap even religius ini menjadi agenda pariwisata dunia di Gorontalo menjelang Lebaran Idul Fitri,
bahkan menjamin akan lebih mempopulerkannya ke seluruh dunia, agar Gorontalo menjadi pusat perhatian para
wisatawan dunia.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
1. Tumbilotohe
adalah tradisi masyarakat Gorontalo yang sudah berlangsung sejak abad ke-15
Masehi. Dahulunya, tambilotohe ini dimaksudkan untuk memudahkan umat Islam yang
ingin memberikan zakat fitrah di malam hari dan juga untuk menerangi jalan
untuk menuju mesjid. Saat itu, penerangan terbuat dari damar dan getah pohon
yang bisa menyala dalam waktu lama. Namun, dalam perjalanannya penerangan ini
diganti dengan minyak kelapa (padalama) dan kemudian minyak tanah. Di
zaman modern, warga mulai beralih menggunakan lampu listrik berkelap-kelip
dengan berbagai warna. Namun, ada juga yang masih bertahan untuk menggunakan
lampu minyak.
2.
Tumbilotohe sebagai wisata religi dan juga merupakan tradisi yang
telah membudaya di daerah Gorontalo ini sangatlah memiliki nilai religius.
Tradisi ini setiap malmanya ramai, dan memiliki beberapa keunikan seperti
membunyikan meriam tradisional atau yang disebut bunggo di daerah Gorontalo.
Meriam ini biasa dimainkan oleh anak-anak muda sampai orang dewasa dan saling
balas serta saling adu kerasnya bunyi meriam. Menjelang sahur, mereka
mengarahkan bunggo tersebut ke arah perkampungan untuk membangunkan warga yang
masi terlelap tidur unuk makan sahur. Dengan demikian masyarakat dapat merasakan
nuansa religus dan solidaritas dalam tradisi ini.
3.
Suasana perayaan tumbilotohe
tiap tahunnya diramaikan dengan
lampu-lampu botol yang dihias sedemikian rupa dan membentuk tulisan atau
kaligrafi. Suasana daerah Gorontalo ini membuat Gorontalo menjadi terang
bercahaya, hampir tidak ada sudut yang gelap tidak memasang lampu botol. Saat
harga minyak tanah naik, perayaan malam tumbilotohe
sempat mengalami tidak terjadinya keramaian akan adanya lampu botol, tetapi
tetap saja ada yang memasang lampu botol ini, hal ini karena tumbilotohe merupakan tradisi yang sudah
melekat dan membudaya di daerah Gorontalo.
4.2. Saran
1.
Diharapkan
agar tradisi tumbilotohe akan selalu
diramaikan dengan lampu-lampu botol sebagaimana yang tiap tahunnya dilaksanakan
agar dapat dijadikan wisata yang menarik bagi para pengunjung.
2.
Menanamkan
rasa antusias bahwa tradisi ini harus dilestarikan di daerah Gorontalo karena
tradisi seperti ini tidak dijumpai di daerah-daerah lain selain Provinsi
Gorontalo.
3. Agar tidak menjadi beban dan kesusahan dalam menydiakan
bahan lampu botol, alngkah baiknya bila bahan-bahan yang digunakan adalah bahan
saat zaman dahulu.
4.
Pemerintah
ikut turut membantu masyarakat dalam menyemarakkan tradisi ini, seperti
memberikan subsidi minyak tanah pada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia.
2012. Tumbilotohe. (Online)(id.wikipedia.org/wiki/tumbilotohe, diakses
07 Januari 2013)
Galeri Wisata Nusantara. 2012. Tradisi Tumbilotohe.
(Online)(http://galeriwisata.wordpress.com/wisata-sulawesi/wisata-gorontalo/tradisi-tumbilotohe/,
diakses 07 Januari 2013)
Comments
Post a Comment