UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN
DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pembangunan ekonomi nasional
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan;
c. bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan
hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin
menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua
pemangku kepentingan;
e. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat
mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas
lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
f. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan
terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan
ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.
2.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum.
3.
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar
dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke
dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan.
4.
Rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis
yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
5.
Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan
hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
6.
Pelestarian fungsi
lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
7.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antarkeduanya.
8.
Daya tampung lingkungan hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain
yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
9.
Sumber daya alam adalah unsur lingkungan
hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara
keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
10. Kajian
lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian
analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
11. Analisis
mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian
mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
12. Upaya
pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang
selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
13. Baku mutu
lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
14.
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan
hidup yang telah ditetapkan.
15.
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan
hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap
melestarikan fungsinya.
16.
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan
orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat
fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
17.
Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan
langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
18.
Konservasi sumber daya alam adalah
pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana
serta kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai serta keanekaragamannya.
19.
Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang
diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga
menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga
berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang
dapat dibandingkan.
20.
Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan.
21.
Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya
disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak
lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta
kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
22.
Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang
selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang
mengandung B3.
23.
Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang
meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,
pengolahan, dan/atau penimbunan.
24.
Dumping (pembuangan) adalah kegiatan
membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah,
konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media
lingkungan hidup tertentu.
25.
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan
antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau
telah berdampak pada lingkungan hidup.
26.
Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh
perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau
kegiatan.
27.
Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok
orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan
kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup.
28.
Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang
dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
29.
Ekoregion adalah wilayah geografis yang
memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola
interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan
lingkungan hidup.
30.
Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
31.
Masyarakat hukum adat adalah kelompok
masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu
karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan
lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial, dan hukum.
32.
Setiap orang adalah orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
33.
Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah
seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah,
atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
34.
Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak
luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat.
35.
Izin lingkungan adalah izin yang diberikan
kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal
atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
36.
Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang
diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
37.
Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38.
Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati,
atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah
daerah.
39.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG
LINGKUP
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dilaksanakan berdasarkan asas:
a.
tanggung jawab negara;
b.
kelestarian dan keberlanjutan;
c.
keserasian dan keseimbangan;
d.
keterpaduan;
e.
manfaat;
f.
kehati-hatian;
g.
keadilan;
h.
ekoregion;
i.
keanekaragaman hayati;
j.
pencemar membayar;
k.
partisipatif;
l.
kearifan lokal;
m.
tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n.
otonomi daerah.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
a.
melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b.
menjamin
keselamatan, kesehatan, dan kehidupan
manusia;
c.
menjamin
kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d.
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f.
menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g.
menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas
lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h.
mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam
secara bijaksana;
i.
mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j.
mengantisipasi isu lingkungan global.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 4
Perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:
a. perencanaan;
b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
d. pemeliharaan;
e. pengawasan;
dan
f.
penegakan hukum.
BAB III
PERENCANAAN
Pasal 5
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dilaksanakan melalui tahapan:
a.
inventarisasi
lingkungan hidup;
b.
penetapan wilayah ekoregion; dan
c.
penyusunan RPPLH.
Bagian
Kesatu
Inventarisasi
Lingkungan Hidup
Pasal 6
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a
terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup:
a. tingkat nasional;
b. tingkat pulau/kepulauan; dan
c. tingkat wilayah ekoregion.
(2)
Inventarisasi
lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai
sumber daya alam yang meliputi:
a.
potensi dan
ketersediaan;
b.
jenis yang
dimanfaatkan;
c.
bentuk penguasaan;
d.
pengetahuan pengelolaan;
e.
bentuk kerusakan;
dan
f.
konflik dan
penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
Bagian Kedua
Penetapan
Wilayah Ekoregion
Pasal 7
(1)
Inventarisasi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf
b menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion dan dilaksanakan oleh
Menteri setelah berkoordinasi
dengan instansi terkait.
(2)
Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan:
a.
karakteristik bentang alam;
b.
daerah aliran sungai;
c.
iklim;
d.
flora dan fauna;
e.
sosial budaya;
f.
ekonomi;
g.
kelembagaan masyarakat; dan
h.
hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Pasal 8
Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah
ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan untuk
menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam.
Bagian Ketiga
Penyusunan
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 9
(1) RPPLH
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas:
a. RPPLH
nasional;
b. RPPLH
provinsi; dan
c. RPPLH
kabupaten/kota.
(2) RPPLH
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan
inventarisasi nasional.
(3) RPPLH
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun berdasarkan:
a. RPPLH
nasional;
b. inventarisasi
tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi
tingkat ekoregion.
(4) RPPLH
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun berdasarkan:
a. RPPLH
provinsi;
b. inventarisasi
tingkat pulau/kepulauan; dan
c.
inventarisasi tingkat ekoregion.
Pasal 10
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun
oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2)
Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memperhatikan:
a.
keragaman karakter dan
fungsi ekologis;
b.
sebaran penduduk;
c.
sebaran potensi sumber daya alam;
d.
kearifan lokal;
e.
aspirasi
masyarakat; dan
f.
perubahan iklim.
(3) RPPLH
diatur dengan:
a.
peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional;
b.
peraturan daerah provinsi untuk RPPLH
provinsi; dan
c.
peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH
kabupaten/kota.
(4) RPPLH
memuat rencana tentang:
a. pemanfaatan
dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. pemeliharaan
dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c. pengendalian,
pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap
perubahan iklim.
(5) RPPLH
menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang
dan rencana pembangunan jangka menengah.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8,
serta RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PEMANFAATAN
Pasal 12
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan
berdasarkan RPPLH.
(2)
Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan:
a.
keberlanjutan
proses dan fungsi lingkungan hidup;
b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
c.
keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan
masyarakat.
(3) Daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh:
a.
Menteri untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
nasional dan pulau/kepulauan;
b.
gubernur untuk daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota; atau
c.
bupati/walikota untuk daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan
pemerintah.
BAB V
PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1)
Pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pencegahan;
b. penanggulangan; dan
c. pemulihan.
(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.
Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 14
Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup terdiri atas:
a.
KLHS;
b. tata
ruang;
c. baku
mutu lingkungan hidup;
d. kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f.
UKL-UPL;
g. perizinan;
h. instrumen
ekonomi lingkungan hidup;
i.
peraturan perundang-undangan berbasis
lingkungan hidup;
j.
anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis
risiko lingkungan hidup;
l.
audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen
lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Paragraf
1
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pasal 15
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan
telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib melaksanakan KLHS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi:
a.
rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta
rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana
pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
b.
kebijakan,
rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak
dan/atau risiko lingkungan hidup.
(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:
a.
pengkajian
pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau
program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah;
b.
perumusan
alternatif penyempurnaan kebijakan,
rencana, dan/atau program; dan
c.
rekomendasi
perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan,
rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan
berkelanjutan.
Pasal 16
KLHS memuat kajian antara lain:
a. kapasitas
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
b. perkiraan
mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c.
kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e.
tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan
iklim; dan
f.
tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman
hayati.
Pasal
17
(1)
Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) menjadi
dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu
wilayah.
(2)
Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan
bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui,
a.
kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib
diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan
b.
segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
Pasal
18
(1)
KLHS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku
kepentingan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Tata Ruang
Pasal 19
(1)
Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan
hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib
didasarkan pada KLHS.
(2)
Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.
(3)
Paragraf 3
Baku Mutu Lingkungan Hidup
Pasal 20
(1) Penentuan
terjadinya pencemaran lingkungan hidup
diukur melalui baku mutu lingkungan hidup.
(2) Baku
mutu lingkungan hidup meliputi:
a.
baku mutu air;
b.
baku mutu air limbah;
c.
baku mutu air laut;
d.
baku mutu udara ambien;
e.
baku mutu emisi;
f.
baku mutu gangguan; dan
g. baku
mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Setiap
orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan
persyaratan:
a.
memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b.
mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam
peraturan menteri.
Paragraf 4
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Pasal 21
(1)
Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
(2)
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat
perubahan iklim.
(3)
Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:
a.
kriteria baku kerusakan tanah untuk
produksi biomassa;
b.
kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c.
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;
d.
kriteria baku kerusakan mangrove;
e.
kriteria baku kerusakan padang lamun;
f.
kriteria baku kerusakan gambut;
g.
kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h.
kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4)
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan
iklim didasarkan pada paramater antara lain:
a.
kenaikan temperatur;
b.
kenaikan muka air laut;
c.
badai; dan/atau
d.
kekeringan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 5
Amdal
Pasal 22
(1)
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
(2)
Dampak
penting ditentukan berdasarkan kriteria:
a.
besarnya
jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b.
luas
wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan
terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f.
berbalik
atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g.
kriteria
lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 23
(1)
Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas:
a.
pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b.
eksploitasi sumber daya alam, baik yang
terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
c.
proses dan kegiatan yang secara potensial
dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta
pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d.
proses dan kegiatan yang hasilnya dapat
mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan
budaya;
e.
proses dan kegiatan yang hasilnya akan
mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau
perlindungan cagar budaya;
f.
introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
jasad renik;
g.
pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan
nonhayati;
h.
kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau
mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau
i.
penerapan teknologi yang diperkirakan
mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha
dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 24
Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup.
Pasal 25
Dokumen amdal memuat:
a.
pengkajian
mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b.
evaluasi
kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
c.
saran
masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting
dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi
untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan
f.
rencana
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Pasal 26
(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun
oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip
pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum
kegiatan dilaksanakan.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
yang terkena dampak;
b.
pemerhati lingkungan hidup;
dan/atau
c.
yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan
dalam proses amdal.
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.
Pasal 27
Dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan kepada pihak lain.
Pasal 28
(1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal.
(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun
amdal sebagaimana dimasud pada ayat (1) meliputi:
a.
penguasaan metodologi
penyusunan amdal;
b.
kemampuan melakukan
pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan
c.
kemampuan menyusun
rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
(3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun amdal
yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria
kompetensi penyusun amdal diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 29
(1)
Dokumen amdal dinilai
oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2)
Komisi Penilai Amdal wajib
memiliki lisensi dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(3)
Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 30
(1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 terdiri atas wakil dari
unsur:
a.
instansi lingkungan
hidup;
b.
instansi teknis terkait;
c.
pakar di bidang
pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang
dikaji;
d.
pakar di bidang
pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang sedang dikaji;
e.
wakil dari masyarakat
yang berpotensi terkena dampak; dan
f.
organisasi lingkungan
hidup.
(2)
Dalam melaksanakan
tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar
independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk
itu.
(3)
Pakar independen dan sekretariat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 31
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal,
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan keputusan kelayakan atau
ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 32
(1) Pemerintah
dan pemerintah daerah membantu penyusunan amdal bagi usaha dan/atau kegiatan
golongan ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
(2) Bantuan
penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi, biaya,
dan/atau penyusunan amdal.
(3) Kriteria
mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 6
UKL-UPL
Pasal 34
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL.
(2) Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan
yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL.
Pasal 35
(1) Usaha
dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat pernyataan
kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan berdasarkan kriteria:
a. tidak termasuk dalam ketegori berdampak penting sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1); dan
b. kegiatan usaha mikro dan kecil.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat
pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur
dengan peraturan Menteri.
Paragraf 7
Perizinan
Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL
wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan
persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 37
(1) Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak
permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan
amdal atau UKL-UPL.
(2)
Izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan
apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum,
kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data,
dokumen, dan/atau informasi;
b.
penerbitannya
tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang
kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau
c.
kewajiban
yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 38
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan
pengadilan tata usaha negara.
Pasal 39
(1)
Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengumumkan
setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat.
Pasal 40
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan.
(2)
Dalam hal
izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.
(3)
Dalam hal
usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 8
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Pasal 42
(1) Dalam
rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup.
(2) Instrumen
ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b.
pendanaan lingkungan hidup; dan
c.
insentif dan/atau disinsentif.
Pasal 43
(1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:
a. neraca
sumber daya alam dan lingkungan hidup;
b. penyusunan
produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan
kerusakan lingkungan hidup;
c. mekanisme
kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah; dan
d. internalisasi biaya lingkungan hidup.
(2)
Instrumen pendanaan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi:
a.
dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
b. dana
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup;
dan
c.
dana amanah/bantuan untuk konservasi.
(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2)
huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk:
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah
lingkungan hidup;
b. penerapan
pajak, retribusi, dan
subsidi lingkungan hidup;
c. pengembangan sistem
lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup;
d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau
emisi;
e. pengembangan
sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;
f.
pengembangan asuransi lingkungan hidup;
g. pengembangan
sistem label ramah lingkungan hidup; dan
h. sistem penghargaan kinerja di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 9
Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 44
Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan
daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
Paragraf 10
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 45
(1) Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk
membiayai:
a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.
(2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan
hidup yang memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Pasal 46
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka
pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran
dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan
hidup.
Paragraf 11
Analisis Risiko Lingkungan Hidup
Pasal 47
(1) Setiap
usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan
dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup.
(2) Analisis
risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengkajian
risiko;
b. pengelolaan
risiko; dan/atau
c. komunikasi
risiko.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis
risiko lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 12
Audit Lingkungan Hidup
Pasal 48
Pemerintah
mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit
lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup.
Pasal 49
(1) Menteri
mewajibkan audit
lingkungan hidup kepada:
a. usaha dan/atau
kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau
b. penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan
perundang-undangan.
(2) Penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan hidup.
(3) Pelaksanaan
audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko tinggi
dilakukan secara berkala.
Pasal 50
(1) Apabila
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugasi pihak ketiga yang independen untuk melaksanakan audit
lingkungan hidup atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan.
(2) Menteri
mengumumkan hasil audit lingkungan hidup.
Pasal 51
(1)
Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 dan Pasal 49 dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup.
(2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup.
(3)
Kriteria untuk memperoleh
sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi kemampuan:
a.
memahami prinsip,
metodologi, dan tata laksana audit lingkungan hidup;
b.
melakukan audit
lingkungan hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan
kesimpulan, dan pelaporan; dan
c.
merumuskan rekomendasi
langkah perbaikan sebagai tindak lanjut audit lingkungan hidup.
(4)
Sertifikat kompetensi
auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh
lembaga sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penanggulangan
Pasal 53
(1)
Setiap orang yang
melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. pemberian
informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;
b. pengisolasian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup;
c. penghentian
sumber pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemulihan
Pasal 54
(1)Setiap orang yang
melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan
pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a.
penghentian sumber pencemaran dan pembersihan
unsur pencemar;
b.
remediasi;
c.
rehabilitasi;
d.
restorasi;
dan/atau
e.
cara lain yang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 55
(1) Pemegang
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(1) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2) Dana
penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan
pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMELIHARAAN
Pasal 57
(1) Pemeliharaan
lingkungan hidup dilakukan melalui upaya:
a.
konservasi
sumber daya alam;
b.
pencadangan
sumber daya alam; dan/atau
c.
pelestarian
fungsi atmosfer.
(2) Konservasi
sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan:
a.
perlindungan
sumber daya alam;
b.
pengawetan
sumber daya alam; dan
c.
pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam.
(3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu
tertentu.
(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
a.
upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;
b.
upaya
perlindungan lapisan ozon; dan
c.
upaya
perlindungan terhadap hujan asam.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi
dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA
DAN BERACUN
SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Bagian Kesatu
Pengelolaan
Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 58
(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3
wajib melakukan pengelolaan B3.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Bagian Kedua
Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 59
(1) Setiap
orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang
dihasilkannya.
(2) Dalam
hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti
ketentuan pengelolaan limbah B3.
(3) Dalam
hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3,
pengelolaannya diserahkan kepada pihak
lain.
(4) Pengelolaan
limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(5) Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup
yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam
izin.
(6) Keputusan
pemberian izin wajib diumumkan.
(7) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Dumping
Pasal 60
Setiap orang dilarang melakukan
dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.
Pasal 61
(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat
dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI
Pasal 62
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah
mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan
pengembangan kebijakan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2)
Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan
secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
(3)
Sistem informasi lingkungan hidup paling
sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan
lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem
informasi lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri.
BAB IX
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 63
(1)
Dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan
berwenang:
a.
menetapkan kebijakan nasional;
b.
menetapkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria;
c.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai RPPLH nasional;
d.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
e.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai amdal dan UKL-UPL;
f.
menyelenggarakan inventarisasi sumber daya
alam nasional dan emisi gas rumah kaca;
g.
mengembangkan standar
kerja sama;
h.
mengoordinasikan dan
melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
i.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber
daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik;
j.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
k.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
l.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai perlindungan lingkungan laut;
m.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
n.
melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah;
o.
melakukan pembinaan dan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan
perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
p.
mengembangkan dan
menerapkan instrumen lingkungan hidup;
q.
mengoordinasikan dan
memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta
penyelesaian sengketa;
r.
mengembangkan dan
melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;
s.
menetapkan standar pelayanan minimal;
t.
menetapkan kebijakan
mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal,
dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
u.
mengelola informasi
lingkungan hidup nasional;
v. mengoordinasikan,
mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan
teknologi ramah lingkungan hidup;
w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan,
dan penghargaan;
x.
mengembangkan
sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup;
y. menerbitkan izin lingkungan;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan
aa. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.
(2)
Dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang:
a.
menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b.
menetapkan dan
melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi;
d.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai amdal dan UKL-UPL;
e.
menyelenggarakan inventarisasi sumber daya
alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
f.
mengembangkan dan
melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g.
mengoordinasikan dan
melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas
kabupaten/kota;
h.
melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan
kepala daerah kabupaten/kota;
i.
melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
j.
mengembangkan dan
menerapkan instrumen lingkungan hidup;
k.
mengoordinasikan dan
memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antarkabupaten/antarkota
serta penyelesaian sengketa;
l.
melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan
pengawasan kepada kabupaten/kota di
bidang program dan kegiatan;
m. melaksanakan
standar pelayanan minimal;
n.
menetapkan kebijakan
mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal,
dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi;
p.
mengembangkan dan
menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
q.
memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan,
dan penghargaan;
r.
menerbitkan izin
lingkungan pada tingkat provinsi; dan
s.
melakukan penegakan hukum
lingkungan hidup pada tingkat provinsi.
(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
a.
menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b.
menetapkan dan
melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai RPPLH kabupaten/kota;
d.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai amdal dan UKL-UPL;
e.
menyelenggarakan inventarisasi sumber daya
alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;
f.
mengembangkan dan
melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g.
mengembangkan dan
menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h.
memfasilitasi
penyelesaian sengketa;
i.
melakukan pembinaan dan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan
perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
j.
melaksanakan standar pelayanan minimal;
k.
melaksanakan kebijakan
mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal,
dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
l.
mengelola informasi
lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
m.
mengembangkan dan melaksanakan kebijakan
sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
n.
memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan,
dan penghargaan;
o.
menerbitkan izin
lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan
p.
melakukan penegakan hukum
lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
Pasal 64
Tugas
dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.
BAB X
HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 65
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap
orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
(3) Setiap
orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.
(5) Setiap
orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 66
Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat
secara perdata.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.
Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan berkewajiban:
a. memberikan
informasi yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan
hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan
hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 69
(1) Setiap orang dilarang:
a. melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan
B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. memasukkan
limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke
media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan
limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang
limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang
B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
g. melepaskan produk rekayasa
genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau izin lingkungan;
h. melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar;
i.
menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat
kompetensi penyusun amdal; dan/atau
j.
memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
BAB XI
PERAN MASYARAKAT
Pasal 70
(1)
Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang
sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Peran masyarakat dapat berupa:
a.
pengawasan sosial;
b.
pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c.
penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3)
Peran masyarakat dilakukan untuk:
a.
meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
b.
meningkatkan kemandirian, keberdayaan
masyarakat, dan kemitraan;
c.
menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
d.
menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan
masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan
e.
mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan
lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
BAB XII
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 71
(1)
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
(2)
Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan
kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3)
Dalam melaksanakan
pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup
yang merupakan pejabat fungsional.
Pasal 72
Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin
lingkungan.
Pasal 73
Menteri
dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika
Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal
74
(1)
Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) berwenang:
a.
melakukan pemantauan;
b.
meminta keterangan;
c.
membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat
catatan yang diperlukan;
d.
memasuki tempat tertentu;
e.
memotret;
f.
membuat rekaman audio visual;
g.
mengambil sampel;
h.
memeriksa peralatan;
i.
memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi; dan/atau
j.
menghentikan pelanggaran tertentu.
(2) Dalam
melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan
koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil.
(3) Penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat
pengawas lingkungan hidup.
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 76
(1) Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2)
Sanksi administratif terdiri atas:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Pasal 77
Menteri
dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak
menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 78
Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Pasal 79
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau
pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c
dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Pasal 80
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ayat (2) huruf b berupa:
a. penghentian sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan sarana produksi;
c.
penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang
berpotensi menimbulkan pelanggaran;
f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan
tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa
didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan
hidup;
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika
tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
Pasal 81
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap
keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.
Pasal 82
(1) Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.
(2) Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan
pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan.
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal 84
(1) Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan.
(2) Pilihan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para
pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di
luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau
para pihak yang bersengketa.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di
Luar Pengadilan
Pasal 85
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:
a.
bentuk dan besarnya ganti rugi;
b.
tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau
perusakan;
c.
tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan
terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
d.
tindakan untuk mencegah timbulnya dampak
negatif terhadap lingkungan hidup.
(2) Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan
hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Dalam
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa
mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan
hidup.
Pasal 86
(1)
Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia
jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak
berpihak.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat
memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa
lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa
penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup Melalui Pengadilan
Paragraf 1
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
Pasal 87
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan
sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung
jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa
terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 88
Setiap
orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang
terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Paragraf 3
Tenggat Kedaluwarsa untuk
Pengajuan Gugatan
Pasal 89
(1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan
gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dihitung
sejak diketahui adanya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
(2) Ketentuan
mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha
dan/atau kegiatan yang menggunakan dan/atau mengelola B3 serta menghasilkan dan/atau mengelola limbah
B3.
Paragraf 4
Hak Gugat Pemerintah dan
Pemerintah Daerah
Pasal 90
(1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang
bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti
rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian
lingkungan hidup.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri.
Paragraf 5
Hak Gugat
Masyarakat
Pasal 91
(1) Masyarakat
berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri
dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
(2) Gugatan
dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum,
serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
(3) Ketentuan
mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 6
Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup
Pasal 92
(1) Dalam rangka
pelaksanaan tanggung jawab perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi
lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan
untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali
biaya atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat
mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:
a. berbentuk
badan hukum;
b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa
organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup; dan
c. telah
melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2
(dua) tahun.
Paragraf 7
Gugatan
Administratif
Pasal 93
(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan
tata usaha negara apabila:
a.
badan atau pejabat tata usaha negara
menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal
tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;
b.
badan atau pejabat tata usaha negara
menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak
dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau
c.
badan atau pejabat
tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak
dilengkapi dengan izin lingkungan.
(2) Tata cara pengajuan
gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara.
BAB XIV
PENYIDIKAN
DAN PEMBUKTIAN
Bagian Kesatu
Penyidikan
Pasal 94
(1) Selain
penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana
lingkungan hidup.
(2) Penyidik pejabat pegawai
negeri sipil berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti,
pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f.
melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang
hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h. menghentikan penyidikan;
i.
memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;
j.
melakukan penggeledahan terhadap badan,
pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat
dilakukannya tindak pidana; dan/atau
k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
(3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi
dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan
penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan kepada
penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi
Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan.
(5) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi
Negara Republik Indonesia.
(6) Hasil
penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan
kepada penuntut umum.
Pasal 95
(1)
Dalam rangka penegakan hukum terhadap
pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah
koordinasi Menteri.
(2)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
. Bagian Kedua
Pembuktian
Pasal 96
Alat bukti yang sah dalam
tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:
a.
keterangan saksi;
b.
keterangan ahli;
c.
surat;
d.
petunjuk;
e.
keterangan terdakwa;
dan/atau
f.
alat bukti lain, termasuk
alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 97
Tindak
pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.
Pasal 98
(1)
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya
baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)
Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau
bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah).
(3)
Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 99
(1)
Setiap
orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
(2)
Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau
bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).
(3)
Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah).
Pasal 100
(1)
Setiap
orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu
gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi
administratif yang telah dijatuhkan tidak
dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Pasal 101
Setiap
orang yang melepaskan dan/atau
mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 102
Setiap orang yang
melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 103
Setiap orang yang
menghasilkan limbah B3 dan tidak
melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping
limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal
105
Setiap orang yang memasukkan
limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal
106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf
d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah).
Pasal 107
Setiap orang yang memasukkan B3
yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf
b
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 108
Setiap
orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal 109
Setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 110
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki
sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Pasal 111
(1)
Pejabat pemberi izin
lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi
dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Pejabat pemberi izin
usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa
dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan
sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa
manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 113
Setiap
orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,
merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan
dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 114
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 115
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas
lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 116
(1)
Apabila tindak pidana lingkungan hidup
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi
pidana dijatuhkan kepada:
a.
badan usaha; dan/atau
b.
orang yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2)
Apabila tindak pidana lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup
kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana
tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Pasal 117
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah
atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf
b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat
dengan sepertiga.
Pasal 118
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana
dijatuhkan kepada badan usaha yang
diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Pasal 119
Selain
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan
seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan
akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan
perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal
120
(1)
Dalam melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi.
(2)
Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di
bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 121
(1) Pada
saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,
setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan
tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup.
(2) Pada
saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,
setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan
tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan
hidup.
Pasal
122
(1) Pada
saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,
setiap penyusun amdal wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal.
(2) Pada
saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,
setiap auditor lingkungan hidup wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor
lingkungan hidup.
Pasal 123
Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan
hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan
paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 124
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang-Undang ini.
Pasal 125
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 126
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling
lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
Pasal 127
Undang‑undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‑Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada
tanggal 3 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
MENTERIHUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ANDI MATALATTA
MENTERIHUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ANDI MATALATTA
Comments
Post a Comment